Bisnis.com, JAKARTA – Platform media sosial China TikTok akan dilarang beroperasi di Amerika Serikat dalam waktu dekat. Namun, pengacara perusahaan induk TikTok, ByteDance, masih berusaha mengajukan banding ke pengadilan AS.

AS adalah pasar terbesar TikTok. Pengguna aktif TikTok di AS berjumlah 150 juta orang, melampaui jumlah pengguna aktif di Indonesia yang berkisar 100 juta orang. 

Hal ini menyusul keputusan Presiden AS Joe Biden untuk menandatangani undang-undang yang mengharuskan ByteDance menghapus aplikasi tersebut dalam waktu 9 bulan sejak April tahun lalu. Jika tidak, TikTok akan dilarang di AS dan dihapus dari App Store Apple. 

Menurut BBC, TikTok akan mulai mengajukan argumen melawan hukum pada Selasa (17 September 2024). ByteDance membantah tuduhan bahwa aplikasi tersebut menimbulkan risiko keamanan terhadap data pengguna AS. 

Seperti diketahui, Biden menandatangani undang-undang ini karena merasa khawatir dengan cara pemerintah China mengeksploitasi data pengguna warganya. 

Dalam kasus ini, TikTok dan ByteDance menyangkal adanya hubungan apa pun dengan otoritas Tiongkok dan menganggap undang-undang yang ditandatangani Biden sebagai gangguan signifikan terhadap hak kebebasan berekspresi. 

Saat ini pengguna TikTok di AS disebutkan mencapai 170 juta akun dan mewakili pasar terbesar aplikasi tersebut. Untuk membela diri, perusahaan akan menyampaikan argumennya di hadapan panel yang terdiri dari tiga hakim di Pengadilan Banding Washington DC. 

Selain itu, perwakilan ByteDance juga akan menghadirkan delapan kreator TikTok, termasuk seorang peternak dari Texas dan seorang pembuat roti dari Tennessee, yang mengaku mengandalkan platform tersebut untuk memasarkan produk dan mencari nafkah. 

Di sisi lain, pengacara dari Departemen Kehakiman AS menjelaskan bahwa kasus tersebut bukan hanya soal keamanan data. Para pejabat dan anggota parlemen khawatir bahwa TikTok dapat digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk menyebarkan propaganda di kalangan warga AS. 

Namun seorang pengacara di First Knight Reform Institute di Universitas Columbia mengadvokasi hak kebebasan berpendapat dan mengatakan bahwa anggota parlemen tidak yakin apa ancaman keamanan nasional spesifik yang mereka yakini ditimbulkan oleh TikTok.

“Kami tidak dapat mengingat kasus sebelumnya di mana pembatasan besar-besaran terhadap hak Amandemen Pertama dianggap konstitusional berdasarkan bukti yang dirahasiakan,” katanya.

Di sisi lain, menurut James Lewis dari Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, undang-undang tersebut dirancang untuk tahan terhadap peninjauan kembali.

“Isi kasus TikTok sangat meyakinkan. Poin pentingnya adalah apakah pengadilan menerima bahwa kondisi diversi tidak mempengaruhi kebebasan berpendapat,” kata Lewis. 

Dalam konteks ini, tambahnya, pengadilan biasanya menyerahkan keputusan mengenai masalah keamanan nasional kepada presiden.

Tonton berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel