Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkapkan realisasi investasi produsen dan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia mengalami stagnasi selama 7 tahun terakhir.

IEEFA mencatat pemerintah hanya mampu menarik investasi sebesar US$1,5 miliar di sektor EBT pada tahun lalu, dengan tambahan kapasitas EBT sebesar 574 megawatt (MW). Sedangkan 145 MW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS) Cirata.

Pakar keuangan energi IEEFA Mutya Yustika mengatakan stagnasi investasi di sektor energi hijau disebabkan oleh peraturan yang tidak ramah investasi bagi pengembang listrik swasta (IPP).

Kendala tersebut salah satunya disebabkan adanya kewajiban kerjasama dengan anak perusahaan PLN, dimana PLN memiliki minimal 51% saham mayoritas, sehingga pada akhirnya mengurangi minat investor terhadap sektor energi terbarukan di Indonesia, kata Mutya. Pada Senin (29/7/2024).

Selain itu, kata Mutya, beberapa regulasi juga membuat iklim investasi EBT di Indonesia kurang menarik dibandingkan arus investasi global yang justru meningkat dalam 7 tahun terakhir. 

Sebagai contoh, ia mencontohkan tarif listrik EBT yang relatif rendah dan larangan pengalihan saham di proyek-proyek EBT, yang akhir-akhir ini membuat investasi di Indonesia tidak menarik bagi IPP domestik dan internasional.

“Dan lambatnya investasi energi terbarukan di Indonesia juga berperan dalam proses pengadaan yang tidak transparan dan agak rumit,” ujarnya.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi investasi proyek EBT sebenarnya mengalami penurunan selama 7 tahun terakhir.

Dewan Ketenagalistrikan mencatat realisasi investasi EBT mencapai 2 miliar dolar AS pada tahun 2017, sedangkan rata-rata realisasi investasi proyek EBT pada 2018-2023 sebesar 1,5 miliar dolar AS.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Shinta Kamdani mengatakan, aliran investasi produsen dan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

“Saat ini masih terdapat underinvested pada sektor-sektor terkait sektor hijau,” kata Shinta dalam acara Business Indonesia (BIMC) 2024 Mid-Year Challenges di Jakarta, Senin (29 Juli 2024).

Shinta mengatakan pendanaan yang tersedia untuk proyek EBT cukup besar untuk Indonesia. Lebih lanjut Shinta menambahkan, sebagian besar investor telah menunjukkan minat besar terhadap proyek ramah lingkungan ini belakangan ini.

Namun tren investasi pembangkit listrik dan infrastruktur ramah lingkungan di Indonesia masih cenderung menurun.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel