Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengenang, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. Pada saat yang sama, Indonesia sedang berjuang untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, dari jebakan pendapatan menengah menuju negara berpendapatan tinggi. 

Untuk keluar dari jebakan yang ditargetkan pada tahun 2045, Sri Mulyani mengatakan diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%-8% setiap tahunnya. Presiden terpilih Prabowo Subianto ingin ekonomi tumbuh sebesar 8%, itulah targetnya. 

“Status berpendapatan tinggi hanya dapat dicapai melalui pertumbuhan yang lebih tinggi. Pertumbuhan tertinggi dalam 50 tahun sejarah Indonesia dicapai pada tahun 1990an ketika mencapai sekitar 8%. “Persis sama dengan India saat ini,” ujarnya pada Seminar Internasional dan Akademi Pembangunan Asean yang digelar di Aula Dhanapala Kementerian Keuangan, Senin (23/9/2024). 

Namun, Shri Mulyani mengatakan, targetnya bukan hanya mencapai 8% saja, tapi berapa lama suatu negara bisa mempertahankan pertumbuhan ekonominya. 

Optimisme akan dikaitkan dengan pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan keluarnya jebakan pendapatan menengah. 

Selama sekitar satu dekade terakhir, pada masa kepemimpinan Jokowi, pertumbuhan ekonomi telah melambat menjadi 5%, tidak termasuk pandemi Covid-19. 

“Jadi resesi yang disebabkan oleh pandemi, baik karena geopolitik atau bencana alam atau situasi geopolitik atau teknologi digital, harusnya meningkatkan laju pertumbuhan dengan pertumbuhan 5% ini,” jelas Sri Mulyani. 

Oleh karena itu, Shri Mulyani dan pemerintah memahami perlunya memanfaatkan situasi perekonomian global untuk mengulang pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. 

Seperti Korea Selatan yang berhasil keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, hal ini menciptakan peluang untuk memanfaatkan situasi global.

“Indonesia punya sentuhan ini. Industri hilir. Banyak negara yang beralih ke energi ramah lingkungan. “Indonesia memiliki seluruh sumber daya alam untuk mendukung EV [kendaraan listrik],” ujarnya. 

Setidaknya, infrastruktur dan sumber daya manusia merupakan tantangan besar bagi Indonesia, kata Departemen Keuangan. Kedua persoalan inilah yang menjadi kunci Indonesia menjadi negara maju.

Melihat data historis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berhasil mencatatkan angka 7% hingga 8% hingga 10% pada era Soeharto atau antara tahun 1968 hingga 1998. 

Perekonomian tumbuh sebesar 10,92% pada tahun 1968 ketika Soeharto mengambil alih. Sedangkan perekonomian turun hingga 13,13% pada tahun 1998, berbanding terbalik dengan berakhirnya kepemimpinannya. 

Pertumbuhan ekonomi sekitar 6% tujuh kali lipat, sekitar 7% minimal 10 kali lipat, 8% 3 kali lipat, 9% sekali dan selebihnya berbeda-beda. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel