Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta revisi UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), khususnya terkait pelaksanaan iuran bagi pekerja swasta.

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Kegiatan Perekonomian Airlangga Hartarto kepada hadirin pada Selasa (16/7/2024). 

Direktur Utama Apindo Shinta Kamdani mengatakan usulan reformasi tersebut terkait dengan gagasan penerapan Tapera yang menurutnya tidak sejalan dengan kerja BPJS.

“Secara umum kita harus kembali ke undang-undang, karena pemerintah tidak bisa berbuat banyak jika undang-undang tidak direformasi. Makanya kami kembali mengusulkan reformasi undang-undang Tapera,” ujarnya pada Selasa, 16/7/2024. .

Shinta mengatakan, revisi definitif UU Tapera kemungkinan besar harus menunggu atau baru dibicarakan oleh parlemen baru pada periode 2024-2029.

Namun, dia mengatakan Apindo sudah menyiapkan segala gagasannya, baik kepada pemerintah maupun DPR terkait revisi UU Tapera.

“Karena tidak masuk akal kalau kita kembali ke pemerintahan, tapi kalau undang-undangnya tidak berubah. Sepertinya undang-undang kita harus menunggu sampai mungkin ada parlemen baru.”

Di sisi lain, Shinta menyebut Menteri Koordinator Airlangga sudah memberikan lampu hijau untuk amendemen UU Tapera.

“Saya mendukung agar perubahan undang-undang sebelumnya diperbarui,” ujarnya.

Seperti diketahui, berdasarkan Instruksi Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera, tentang revisi Instruksi Pemerintah Nomor 21 tahun 2024 tentang pelaksanaan Tapera. 25/2020, diharapkan kontribusi yang diberikan peserta mencapai 3%.

Iuran ini akan diberikan oleh pekerja dan pemberi kerja atas bagian pekerjaan sebesar 2,5% dari gaji pekerja dan 0,5% yang disediakan oleh perusahaan atau pemberi kerja. 

Kontribusi tersebut juga berlaku bagi pekerja mandiri atau pekerja lepas sebesar 3% dari gaji sendiri.

Shinta mengatakan sebelumnya, berdasarkan PP no. 55/2015 tentang pengelolaan aset jaminan sosial, maksimal 30% atau Rp 138 miliar dan aset JHT sebesar Rp 460 miliar dapat digunakan untuk program manajemen layanan tambahan (MLT) akomodasi pegawai. Menurut Shinta, tarif MLT tinggi, namun pemanfaatannya rendah. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan Jaringan WA