Bisnis.com, JAKARTA – Sektor manufaktur mengalami tekanan akibat depresiasi nilai tukar rupiah, kenaikan suku bunga, dan pelemahan pasar yang menyebabkan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Indonesia melemah menjadi 50,7 pada Juni 2024, turun dari 52,11 pada Juni 2024. bulan sebelumnya. .

Bhim Yudhishthir, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (SELIOS), mengatakan penurunan tajam PMI manufaktur nasional disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar rupee dan relatif tingginya suku bunga acuan sehingga memberikan tekanan pada kinerja industri. masih dalam perjalanan. Tergantung pada bahan baku impor dan barang investasi. 

Jadi untuk membeli bahan baku, barang modal, mereka menggunakan fasilitas kredit dari lembaga keuangan, dari bank, dari finance dan juga untuk menerbitkan instrumen utang dalam mata uang asing, kata Bhima saat dihubungi Bisnis, Senin (1/7/2024). 

Bhim berpendapat, pelaku komersial khawatir karena permintaan domestik dan ekspor masih lemah sehingga tidak sebanding dengan kemampuan membayar pinjaman yang berasal dari mata uang asing (Valas). 

Di sisi lain, penurunan PMI manufaktur disebabkan oleh faktor musiman setelah lebaran, dimana kapasitas produksi turun. Bhima melihat potensi peningkatan kinerja jelang Natal dan Tahun Baru mendatang. 

Faktor lainnya ya, kondisi geopolitik dan pasar global, terutama di negara tujuan ekspor utama seperti China, lalu Eropa, juga turut mempengaruhi turunnya PMI manufaktur karena permintaan global dinilai masih lesu, ujarnya.

Di sisi domestik, derasnya arus barang impor juga menurunkan daya saing produk industri dalam negeri. Ia pun mencontohkan industri tekstil dan produk tekstil yang paling terdampak dengan situasi ini. 

Jika kinerja produksi tidak segera membaik, jika PMI manufaktur terus berada dalam tren penurunan, maka efisiensi perusahaan industri akan terus berlanjut, fasilitas pembiayaan kredit usaha akan terkendala, dan pertumbuhan ekonomi akan melemah. 

“Tentunya juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi karena industri menyumbang 18% terhadap produk domestik bruto dan berdampak pada sektor pertanian, perkebunan, dan logistik,” ujarnya. 

Untuk itu, menurut Bhim, penting bagi industri berorientasi ekspor untuk membuka penetrasi pasar di sekitar negara ASEAN yang pertumbuhannya masih bagus seperti Vietnam, lalu Malaysia, Filipina. 

“Diskon harga listrik sebesar 40% untuk industri padat karya dapat meringankan tekanan biaya operasional,” ujarnya.

Insentif lain yang dapat mendorong pertumbuhan industri mencakup potongan pajak biaya masuk, keringanan pengeringan bahan mentah, dan pengurangan PPN dari 11% menjadi 8-9%. 

Pemerintah juga harus menjaga harga energi, khususnya solar nonsubsidi dan BBM nonsubsidi, stabil hingga akhir tahun. 

Artinya kompensasi lebih besar harus diberikan dari APBN ke Pertamina. Karena biaya bahan bakar juga mempengaruhi biaya produksi, tutupnya. 

Senada, Direktur Eksekutif Inti Mohammad Faisal mengatakan biaya produksi di industri pengolahan semakin mahal akibat nilai tukar rupee yang berdampak pada industri hulu hingga hilir. 

Sementara itu, beberapa industri sangat bergantung pada bahan impor, seperti farmasi, elektronik, otomotif, bahkan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang masih membutuhkan impor bahan baku, makanan dan minuman, serta barang dari produk mainan. 

“Jika depresiasi rupiah meningkatkan biaya produksi, profitabilitas turun ketika biaya naik, sedangkan penjualan mengalami tekanan, hal ini juga mempengaruhi pemanfaatan tenaga kerja sehingga laju ekspansi turun,” tutupnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel