Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai pembiayaan pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) tidak mencukupi, kesimpulan ujian semester (IHPS) I/2024. Pembiayaan operator ketenagalistrikan BPK untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan Ini mengungkapkan bahwa ada keterbatasan dalam pengoperasiannya. Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) kebutuhan permodalan, BPK menyebutkan modal yang dianggarkan sebesar Rp230,2 triliun hanya Rp138,2 triliun atau 60,03% dari RKAP atau 28,39% dari perkiraan modal. Selain RUPTL, pengaturan pembiayaan pengembangan EBT belum dilaksanakan secara optimal, dimana belum terbentuknya kepemimpinan komite untuk mendukung skema pembiayaan Energy Transition Mechanism (ETM)) dan dalam laporan disebutkan hanya Energy Transition Partnership [ Struktur kepengurusan JETP] belum terbentuk. IHPS I-2024 BPK dikutip Senin (28/10/2024). BPK juga menilai gagal melaksanakan proyek pengembangan EBT. Ditambah dengan target EBT dan potensi defisit listrik di berbagai daerah, BPK telah merekomendasikan perbaikan segera kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahl Lahadalia, termasuk koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Koordinasi ini harus mendorong pembentukan Steering Committee Rencana Pendanaan ETM, penyusunan struktur tata kelola JETP, dan perincian desain, sumber pendanaan dan alokasinya. BPK menambahkan, “Selain mendorong lembaga keuangan dalam negeri untuk berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur yang berdaya saing, BPK juga mengungkapkan pentingnya kebijakan Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai penghambat pengembangan EBT.” Tanaman. Hal ini terjadi akibat kapasitas produksi pembangkit EBT di dalam negeri yang tidak mencukupi, selain pendanaan proyek pengembangan pembangkit EBT yang terkendala klausul TKDN, BPK mencontohkan lembaga keuangan seperti Asian Development Bank (ADB). , Bank Dunia, Japan International Cooperation Agency (JICA) hingga Bank Pembangunan dan Investasi Jerman, Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KFW) Bankengruppe, menilai kebijakan unsur TKDN tidak memenuhi batasan minimal yang ditetapkan masing-masing bank. BPK menulis bahwa biaya proyek semakin meningkat karena pembatalan investasi asing, penundaan proyek COD dan risiko pemenuhan kebutuhan listrik, penundaan dan denda, serta persyaratan jaminan pemerintah. BPK pun menyarankan Bahl segera melakukan perbaikan. Upaya tersebut antara lain koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian mengenai persyaratan regulasi dan pengadaan terkait TKDN “untuk memungkinkan pembiayaan luar negeri tanpa mengorbankan pengembangan industri dalam negeri dan pengembangan EBT”. kata BPK.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel