Bisnis.com, JAKARTA – Dua peristiwa terkait dunia pendidikan terjadi saat kedatangan Paus Fransiskus di Jakarta awal pekan ini.

Kejadian pertama adalah ketika Anna Noor Awalia, seorang guru yang bekerja di Pulau Bouton, bercerita tentang minat dan aktivitasnya di dunia pendidikan, termasuk pengentasan kemiskinan.

Anna menangisi pengalamannya mengikuti Scholas Occurentes, sebuah gerakan pendidikan yang diprakarsai oleh Paus Fransiskus. Gerakan ini memiliki kurikulum melihat dunia dari sudut pandang penduduk kota miskin yang haus akan pendidikan.

“[Gerakan bersekolah] menyadarkan mereka yang kaya materi bahwa hidup bukan sekedar mengurus diri sendiri,” ujarnya di Jakarta, Kamis (5/9/2024).

Ia mengatakan gerakan pendidikan membutuhkan visi dan proyek yang menciptakan kecerdasan sekaligus kebahagiaan. Ia juga menekankan pentingnya mendengarkan pemangku kepentingan pendidikan.

Teriakan Guru Anna tentang pentingnya pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan mendengarkan dan melihat dari sudut pandang masyarakat miskin relevan pada acara kedua.

Bersamaan dengan itu, pemerintah dan DPR sedang membahas perubahan tafsir belanja pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dilaksanakan pemerintahan baru pimpinan Prabowo Subianto. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menggeser penafsiran anggaran wajib pendidikan sebesar 20% dari yang berbasis pada pengeluaran pendapatan.

Usulan ini berpotensi mengurangi anggaran sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, maka anggaran pendidikan yang sebelumnya sebesar Rp 665 triliun (merujuk pada belanja pemerintah) bisa turun menjadi sekitar Rp 560,4 triliun (merujuk pada pendapatan pemerintah).

Penafsiran tersebut mendapat kritik dari para ekonom dan polisi di DPR. Bhima Yudistira, Direktur Center for Economic and Legal Studies (Celios), menilai kebijakan wajib belanja pendidikan penting bagi Indonesia dalam jangka panjang sehingga anggaran tidak boleh dikurangi dengan dalih restrukturisasi.

“Jika 20% [pengeluaran] dialokasikan untuk pendidikan, maka hal itu tidak boleh dirasionalisasikan.” Menurut saya, gagasan revisi itu kurang tepat,” kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (5 September 2024). .

Bhima menjelaskan, meski anggaran pendidikan kerap dikritik karena tidak tepat sasaran dan bahkan menunjukkan tanda-tanda korupsi, bukan berarti anggaran perlu dipotong. Menurut dia, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efisiensi program, bukan mengurangi total anggaran.

“Ketika mereka bilang program pendidikan tidak efektif, anggarannya dipotong, dananya dialokasikan ke program lain yang tidak berhubungan langsung dengan produktivitas pendidikan,” imbuhnya.

Bhima juga menyarankan agar restrukturisasi anggaran lebih ditujukan pada birokrasi yang terbebani dibandingkan anggaran pendidikan.

Sebagai informasi, dapat disebutkan bahwa belanja wajib adalah pengeluaran pemerintah yang ditetapkan dengan undang-undang dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi antar wilayah negara. Sejak tahun 2009, pemerintah diwajibkan menyisihkan 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel