Bisnis.com, JAKARTA – Satelit Low Earth Orbit (LEO) milik Starlink sejauh ini mampu memberikan kecepatan jaringan hingga 300 Mbps per titik, atau sekitar 100 Mbps lebih cepat dari kecepatan ideal 4G dan 5G. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan layanan 5G. 

Ketua Asosiasi Pemberdayaan Digital Indonesia (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan masyarakat masih senang dengan layanan Starlink. Pasalnya, jaringan Starlink lebih dari 200 Mbps per titik. Kecepatan super, bahkan lebih cepat dari rata-rata kecepatan 5G di Indonesia. 

Namun, ia menegaskan layanan jaringan internet 5G Starlink masih sulit ditandingi dengan teknologi seluler lain seperti 4G. Starlink masih belum fleksibel. “Teknologi Starlink tidak dimaksudkan untuk diangkut, tetapi untuk digunakan di lokasi tertentu, misalnya di rumah. “Jadi tidak bisa menggantikan selnya,” kata Tesar kepada Bisnis, Selasa (28/5/2024).  

Jadi dengan kata lain, pengguna ponsel atau ponsel perlu membawa perangkat Starlink kemana-mana jika ingin menikmati kecepatan internet 300 Mbps. Kemewahan ini dinilai lebih murah.

Sekadar informasi, internet berbasis satelit memerlukan perangkat penerima sinyal yang harus terkoneksi dengan listrik atau listrik. Tanpa catu daya, receiver tidak akan berfungsi. 

Selain itu, perangkat penangkap sinyal harus terkena paparan langsung dan tidak “terganggu” oleh gedung-gedung tinggi atau benda-benda di atas lokasi perangkat Starlink. Oleh karena itu, hingga saat ini, perangkat Starlink paling efektif digunakan untuk keperluan angkatan laut. 

Pada saat yang sama, layanan seluler dapat digunakan secara langsung di mana saja, tanpa memerlukan perangkat pembangkit listrik besar seperti satelit. Ponsel cerdas memiliki alat bawaan untuk menangkap sinyal seluler. 

Elon Musk disebut-sebut sedang menggarap smartphone yang bisa terhubung langsung ke jaringan Starlink, namun teknologinya masih dalam tahap uji coba.

Tesar juga mengkritisi harga layanan Starlink yang dinilai mahal dibandingkan internet seluler. Sebagai perbandingan, harga layanan Starlink paling murah adalah Rp 750.000. Sedangkan dengan belanja 10% dari harga tersebut atau Rp 75.000, masyarakat bisa mendapatkan data seluler puluhan GB. 

Menurut Tesar, layanan Starlink dengan harga mahal tersebut hanya ditujukan untuk kalangan menengah ke atas. 

“Jadi tidak ada hubungannya dengan seluler, termasuk 5G. Dari segi harga, beda, siapa yang rata-rata mau bayar Rp 750.000 per bulan, kata Tesar kepada Bisnis, Rabu (29/5/2024).

Tesar mengatakan, selain membayar langganan bulanan sebesar 750.000, konsumen juga harus berlangganan jaringan seluler dengan membeli paket data bulanan. Situasi ini melipatgandakan biaya bagi konsumen.

Diketahui, daya beli masyarakat terhadap layanan online masih rendah. Masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, membeli paket internet dalam jumlah yang relatif kecil mengingat tingginya biaya hidup sehari-hari akibat inflasi. 

Survei APJII menemukan bahwa pada tahun 2023, mayoritas (85%) akan mengeluarkan Rp 10.000-100.000 per bulan untuk membeli paket internet seluler.  

Kemudian untuk layanan fixed internet atau internet rumah, 66,2% masyarakat berlangganan internet dan tarifnya berkisar antara Rp300.000 – 500.000 dan Rp300.000 – 500.000. 

Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan harga berlangganan minimum Starlink sebesar Rp 750.000. Jika banyak orang yang ingin membeli layanan internet berbasis satelit ini, Starlink tidak akan mampu membeli internet atau harus mengorbankan sesuatu. 

Senada, Ketua Pusat Regulasi dan Kebijakan Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joseph M. Meski Starlink kini menurunkan harga layanan perangkat keras, namun komunitas ritel belum tentu beralih ke Starlink, kata Edwards. Sebab, harga layanannya masih cukup mahal.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel