Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai arah kebijakan moneter Presiden terpilih AS Donald Trump karena berselisih paham dengan Presiden saat ini Joe Biden, kebijakan moneternya diperkirakan akan melebar secara signifikan.​​

Sri Mulyani menyampaikan kebijakan-kebijakan yang patut diwaspadai Trump, seperti pengurangan pajak perusahaan, peningkatan belanja strategis, dan proteksionis dengan menaikkan tarif impor.​​

Menteri Keuangan mengatakan bahwa sejauh ini, Amerika Serikat hanya menargetkan Tiongkok dengan tarif impor karena surplus perdagangannya. Ke depannya, Trump diperkirakan akan meningkatkan cakupan tarif impor bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.​​

“Tapi seperti Trump di kuartal pertama, semua orang menilai mitra dagang Amerika surplus. Jadi mungkin bukan hanya China saja,” ujarnya pada pertemuan ke-11 Komisi DPRK yang akan terkena dampaknya, juga negara-negara ASEAN seperti Vietnam. dan banyak negara lain mereka juga akan memperhitungkan dan memperhitungkan pemungutan bea masuk. ” dan Kementerian Keuangan, Rabu (13/11/2024).

Bukan hanya kebijakan impor yang diwaspadai Sri Mulyani. Perubahan lain dalam arah kebijakan AS pasca kemenangan Trump, seperti penghentian permusuhan dan operasi perdamaian, tidak akan seagresif Biden.​​

Di sisi lain, komitmen Trump terhadap perubahan iklim tidak akan ditargetkan seperti komitmen Biden. Bukan rahasia lagi bahwa Trump akan mengizinkan produksi bahan bakar fosil lagi.​

Ada kekhawatiran perubahan kebijakan terkait perubahan iklim akan berdampak pada produksi, khususnya kendaraan listrik.​

Sri Mulyani menjelaskan: “Dampak dari diperbolehkannya produksi bahan bakar fosil akan mempengaruhi harga minyak dan masa depan kendaraan listrik di seluruh rantai industri.”

Menurut Bloomberg (11 Juli 2024), Trump berjanji sebelumnya selama kampanye untuk menaikkan tarif impor produk Tiongkok seperti baja dan kendaraan listrik.​

Presiden terpilih AS telah mengancam akan mengenakan tarif hingga 60% pada barang-barang Tiongkok, tingkat yang diprediksi oleh Bloomberg Economics akan menghancurkan perdagangan antara negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Selain itu, perekonomian Asia-Pasifik juga terancam oleh janji-janji kampanye Trump, termasuk pajak yang lebih tinggi, kebijakan imigrasi yang lebih ketat, dan perubahan yang lebih luas terhadap peraturan keuangan AS. ​

Stefan Angrick, ekonom Moody’s Analytics, dalam laporannya pada Senin (11 November 2024): “Wilayah Asia-Pasifik akan menghadapi kenaikan pajak, rendahnya kepercayaan bisnis, dan gejolak pasar keuangan. Sebuah tantangan.”

Ia menjelaskan, risiko terbesar yang dihadapi negara-negara Asia Pasifik adalah tingginya tarif impor yang dikenakan Amerika Serikat. Perekonomian Asia-Pasifik menjual sebagian besar ekspornya ke Amerika Serikat, sehingga mendorong pertumbuhan di kawasan ini.​

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel