Bisnis.com, Jakarta – Menteri Keuangan (MINKU) Sri Muliani Indrawati menjawab pertanyaan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tentang alasan Amerika Serikat (AS) mencetak dolar sebanyak itu namun terkena inflasi.
Sri Molyani menegaskan, Amerika saat ini sedang dilanda inflasi dan telah menghebohkan dunia, meski secara bertahap sudah mencapai level tertentu.
“Mengapa Amerika mampu mencetak uang sebanyak itu tetapi juga menderita inflasi? Inflasi yang terjadi pada tahun 2022-2023 dan itu masih membuat saya terkejut.” Saluran YouTube, Senin (26/8/2024).
Bendahara negara itu menjelaskan, AS mencetak uang dalam jumlah besar sebagai langkah menstabilkan perekonomian atau sebagai langkah counter-cyclical.
Seperti yang diungkapkan Amerika Serikat pada saat krisis yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009, Amerika Serikat
“Kalau ekonomi lemah, gunakan alat moneter untuk mendongkraknya dengan menurunkan suku bunga dan mencetak banyak uang, maka ekonomi akan kembali. Kalau fiskal, gunakan defisit, gunakan utang,” jelasnya.
Padahal, pada dasarnya ada risiko yang akan terjadi jika negara tersebut mencetak uang sebanyak-banyaknya. Ketika nilai mata uang terdepresiasi, inflasi meningkat, bahkan mungkin mengarah pada penerbitan utang baru.
Meski demikian, Sri Mulian menjelaskan negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain, bahkan yang termasuk dalam kategori G7.
Pertama, Amerika Serikat adalah negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Kedua, Amerika Serikat memonopoli banyak bidang teknologi. Dalam situasi ini, Amerika Serikat menggunakan dolar sebagai proksi geopolitiknya.
Tak heran jika banyak negara yang mengandalkan dolar karena belum memiliki bank sentral dengan reputasi baik.
Dia berkata: Meskipun perekonomian Amerika menyumbang sekitar 28% dari perekonomian dunia, penggunaan dolar adalah 60%, namun sekarang telah menurun sebesar 50%.
Kebangkitan Tiongkok yang membeli sebagian besar utang Amerika Serikat membuat kedua negara tak terpisahkan. Akibatnya, persaingan geopolitik antara kedua negara pun muncul.
Akibat kondisi tersebut, negara lain seperti Indonesia mencari alternatif lain dalam menggunakan mata uang tersebut agar tidak bergantung pada negara tersebut.
Pasalnya, Bank Indonesia saat ini telah menggunakan localcurrency settlement (LCS) atau penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara, dimana penyelesaian transaksi tersebut dilakukan di yurisdiksi masing-masing negara.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel