Bisnis.com, JAKARTA – Kelompok Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan revisi pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 tidak akan menyebabkan kenaikan harga kamar hotel.
Sekjen PHRI Maulana Yusran mengatakan pelaku bisnis perhotelan kemungkinan akan menaikkan harga kamar hotel pada tahun depan karena adanya perubahan PPN yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Namun, pemilik usaha sebaiknya mempertimbangkan tren permintaan pasar sebelum menaikkan harga kamar hotel.
“Jangan bicara soal harga kami seperti itu. “Kita lihat permintaannya sebelum harga naik,” kata Maulana usai jumpa pers di Hotel Grand Sahid, Selasa (19/11/2024).
Ia mengatakan, harga di sektor perhotelan bersifat dinamis dan akan bervariasi tergantung kondisi permintaan pasar seperti high season atau low season.
Saat high season, lanjutnya, publishing rate atau harga resmi yang dipublikasikan hotel biasanya merupakan harga tertinggi terkait dengan volume permintaan. Jadi, ketika okupansi suatu hotel mencapai 60-70%, pihak hotel mungkin akan mengenakan biaya atau biaya tambahan karena tingginya permintaan.
Saat ini, ketika tingkat okupansi sedang rendah, yaitu di bawah 40-50%, hotel menggunakan Best Available Rate (BAR), yaitu tarif terbaik yang tersedia saat ini, untuk menarik lebih banyak pengunjung. Biaya ini lebih fleksibel dan lebih rendah dari tarif yang dipublikasikan.
Daripada menaikkan biaya kamar hotel, pemilik bisnis dapat memutuskan untuk menjadi lebih menguntungkan dan memangkas biaya. Maulana mengatakan, kenaikan harga hotel merupakan pilihan terakhir bagi para pebisnis.
“Jadi bisa dibilang hotel-hotel itu yang terakhir menaikkan harga dan kalau bisa menaikkan harga, mudah-mudahan di peak season bisa dilakukan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan PHRI menunggu hasil dari kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% dan menjaga biaya perjalanan dinas instansi.
Harapannya tertuju, terutama pada destinasi-destinasi kecil wisata mancanegara, yakni penerapan gaya hidup.
“Tentunya dalam hidup kita harus mengatur pengeluaran,” kata Hariyadi.
Dia mengatakan rezim kesejahteraan harus diterapkan, suka atau tidak suka, mengingat dampak kebijakan PPN 12%, berkurangnya daya beli, dan penghematan signifikan anggaran perjalanan bisnis hotel dan restoran. Dampaknya meluas ke rantai pasokan yang ada, mulai dari pemasok peternakan dan pertanian, yang sebagian besar merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selain itu, perusahaan juga bisa memberhentikan sementara pekerja hariannya. Sementara itu, Hariyadi mengatakan jumlah pekerja tetap di sektor hotel dan restoran lebih sedikit dibandingkan pekerja tidak tetap.
“Pegawainya sehari-hari tergantung omzetnya: kalau penjualannya bagus, mereka akan bekerja, kalau tidak, mereka akan tutup,” ujarnya.
Tak sampai disitu saja, Hariyadi mengatakan kebijakan tersebut juga berdampak pada satuan kerja pemerintah daerah (Pemda). Ingatlah bahwa pemerintah daerah Anda memungut pajak dari hotel dan restoran.
Oleh karena itu PHRI meminta Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan dan mempertahankan tunjangan perjalanan dinas bagi para birokrat.
Untuk berita dan artikel lainnya, lihat Google Berita dan Saluran WA.