Bisnis.com, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) bersiap mengumumkan keputusan besar terkait tarif impor terhadap China pada awal pekan depan.
Langkah yang diambil Paman Sam diperkirakan akan menyasar sektor-sektor strategis utama dengan tarif baru dan menolak kenaikan tarif secara keseluruhan yang diinginkan Donald Trump.
Berdasarkan laporan Wall Street Journal Sabtu (11/5/2024), tarif mobil listrik diperkirakan akan meningkat empat kali lipat sebesar 25% hingga 100%. Tambahan bea masuk sebesar 2,5% juga berlaku untuk seluruh mobil yang diimpor ke Amerika Serikat (AS).
Keputusan tersebut juga merupakan puncak dari peninjauan kembali tarif Pasal 301, yang pertama kali diberlakukan di bawah pemerintahan Trump pada tahun 2018. AS akan mengenakan tarif baru yang lebih tinggi yang menargetkan industri-industri utama, termasuk kendaraan listrik, baterai, dan sel surya.
Meski keputusan ini mungkin tertunda, upaya ini merupakan langkah terbesar Presiden AS Joe Biden dalam persaingannya dengan perekonomian Tiongkok.
Sementara itu, langkah ini menyusul seruan pada bulan lalu untuk menaikkan tarif baja dan aluminium Tiongkok dan peluncuran resmi penyelidikan baru terhadap industri pembuatan kapal Tiongkok.
“Hal ini pasti akan membuat investor menahan diri pada saham-saham yang berpotensi terekspos,” jelas Xin-Yao Ng, chief investment officer abrdn, di Bloomberg, Sabtu (11/5).
Luasnya tarif yang masuk, termasuk tarif dan daftar lengkap sektor-sektor yang terkena dampak, masih belum jelas. Belum diketahui industri mana yang mungkin terkena dampak penurunan tarif pada produk tertentu, meskipun diperkirakan tidak ada penurunan tarif besar-besaran.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan tarif yang diberlakukan oleh pemerintah AS sebelumnya telah sangat mengganggu pertukaran ekonomi dan perdagangan kedua negara.
Mereka meminta AS untuk mengakhiri pembatasan tersebut, dan menambahkan bahwa Tiongkok akan mengambil tindakan untuk membela hak dan kepentingannya.
“Alih-alih memperbaiki kesalahan, Amerika Serikat malah terus mempolitisasi masalah ekonomi dan perdagangan,” jelas juru bicara Departemen Luar Negeri, Jumat (10/5).
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel