Bisnis.com, Jakarta – Ono W., pakar IT dan wakil presiden Institut Teknologi Tangerang Selatan (ITTS) mengatakan institusi pemerintah masih perlu meningkatkan kewaspadaan untuk memitigasi dampak serangan siber. Purbo percaya.

Misalnya, meski serangan ransomware di Pusat Data Sementara (PDNS) Surabaya sudah memasuki fase anti krisis, namun bukan berarti seluruh jaringan dan data yang ada di dalamnya aman. Ono memperingatkan pejabat pemerintah untuk tidak menganggap remeh segala sesuatunya dan menganggap semuanya baik-baik saja.

“Bahkan jika kami memberi Anda kuncinya dan kami dapat membuat pusat data kembali aktif, penyerang mungkin memiliki salinan semua data kami. Jadi ini seperti kebocoran data yang bagus,” jelasnya selama panggilan. Dikutip Bisnis, Sabtu (13/7/2024).

Ono menegaskan, jangan sekali-kali menghadapi serangan siber, terutama ransomware. Untuk memastikan semua jaringan bersih, semua perangkat yang terinfeksi harus diuji secara forensik sebelum dikembalikan ke layanan.

“Kemudian jika memungkinkan, sebaiknya berikan back-up yang terstruktur dengan bantuan kecerdasan buatan [AI] atau machine learning untuk mendeteksi tanda-tanda ransomware. Selain itu, harus ada pemantauan terhadap aktivitas pejabat pemerintah, khususnya admin. pemerintah yang tidak mengklik dan mendownloadnya sembarangan

Menurut Ono, masih banyak pejabat pemerintah yang lalai dalam menangani data-data penting pemerintah. Oleh karena itu, skema pemberian penghargaan yang terkait dengan kesadaran keamanan siber menjadi lebih mendesak di semua departemen pemerintah.

Selain itu, audit ISO27001 yang serius dan siklus plan-do-check-act yang sistematis juga penting agar lembaga pemerintah di masa depan akan lebih kuat dalam memitigasi dampak serangan siber.

“Banyak instansi pemerintah yang mengabaikan ASN dan lalai dalam data. Jika ingin bukti analitis betapa cerobohnya mereka, meski dengan pencarian sederhana menggunakan Google, Anda bisa menemukan banyak dokumen pemerintah yang mengungkap nama pengguna, kata sandi, dan data pribadi,” imbuhnya.

Terakhir, pemerintah harus memiliki kesadaran dan kerendahan hati untuk mencari bantuan dari sumber daya manusia (SDM) terampil di tanah air yang benar-benar memahami permasalahan keamanan siber di dalam dan luar negeri. 

Pasalnya, pria yang pernah mengajar mata kuliah keamanan siber di opencourse.itts.ac.id ini mengakui, menjadi ahli di bidang keamanan siber sangatlah sulit. Ono menjelaskan, dari sekitar 21.000 orang yang mengikuti kursusnya, hanya sekitar 20 orang yang lulus dan mengerjakannya dengan sempurna.

Selain itu, Ono menyarankan agar instansi pemerintah lebih memilih menggunakan layanan keamanan siber lokal dengan harga terjangkau karena Indonesia sebenarnya tidak memiliki sumber daya manusia keamanan siber yang mumpuni dan tidak kalah dengan produk luar negeri.

“Saat ini ada perbedaan harga antara produk dalam dan luar negeri. Akibatnya, banyak teman-teman yang terpaksa bekerja sama dengan penjual luar negeri agar bisa mendapatkan harga yang adil. Oleh karena itu, instansi pemerintah patut mengapresiasi. Ujung-ujungnya, ujarnya. : produk yang dibuat oleh pekerja rumah tangga.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel