Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden baru-baru ini menaikkan tarif produk asal China. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kedua negara dan menjadi babak baru perang dagang AS-Tiongkok yang berdampak pada perekonomian global dan Indonesia. 

Joe Biden telah menaikkan tarif atas berbagai produk yang diimpor dari Tiongkok, termasuk semikonduktor, baterai, sel surya, mineral penting, dan bahkan rokok. Langkah ini diambil menjelang pemilihan presiden AS yang akan digelar pada November 2024 untuk mendorong produksi dalam negeri di sektor-sektor penting.

Selain kenaikan tarif baja, aluminium, dan kendaraan listrik yang diumumkan sebelumnya, AS juga akan menaikkan tarif derek pelabuhan dan produk medis asal Tiongkok. 

Sementara itu, perubahan ini diperkirakan akan mempengaruhi impor tahunan Amerika Serikat sekitar $18 miliar. 

Bloomberg mengutip Perwakilan Dagang AS Katherine Tai pada Rabu (15/05/2024) yang mengatakan, “Hari ini kami menerapkan tujuan legislatif kami untuk membatasi aktivitas, kebijakan, dan praktik terkait transfer teknologi berbahaya ke Tiongkok, termasuk gangguan siber dan pencurian siber. , berhenti.”  

Hal ini kemudian membuat marah Tiongkok yang menentang keras keputusan Joe Biden yang menaikkan tarif impor Tiongkok. Kementerian Perdagangan Tiongkok melihat langkah ini sebagai manipulasi politik. 

Tiongkok meminta pemerintahan Biden untuk membatalkan kenaikan tarif impor dan memperbaiki apa yang disebutnya sebagai “tindakan yang salah.” 

Perubahan tersebut akan berlaku mulai tahun 2024 hingga 2026 dan ditargetkan 60% lebih besar dari usulan Trump. Risiko terhadap perekonomian global

Dana Moneter Internasional (IMF) mengkritik keputusan AS yang menaikkan tarif barang impor dari Tiongkok.

Juru bicara Reuters Juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan Amerika Serikat harus mempertahankan sistem perdagangan terbuka daripada mengenakan tarif baru pada produk-produk Tiongkok. 

Dia memperingatkan bahwa pembatasan perdagangan seperti yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden dapat menghambat perdagangan dan investasi, mengganggu rantai pasokan, dan memicu tindakan pembalasan.

“Pembagian seperti itu bisa sangat mahal bagi perekonomian global,” ujarnya, seperti dilansir Reuters, Jumat (17 Mei).

Dia juga mengatakan IMF telah menetapkan sekitar 3.000 sanksi perdagangan global pada tahun 2023, naik dari 1.000 sanksi pada tahun 2019.

Dalam skenario terburuk, pembatasan ini dapat menciptakan fragmentasi blok geopolitik dan mengurangi output perekonomian global sebanyak 7%, setara dengan gabungan produk domestik bruto (PDB) Jepang dan Jerman. 

“Dalam hal tarif, pandangan kami adalah Amerika Serikat akan lebih baik mempertahankan kebijakan perdagangan terbuka yang sangat penting bagi kinerja perekonomiannya,” kata Kozack. 

Selain itu, koresponden Reuters Jamie McGeever mengatakan kenaikan tarif barang yang diimpor dari Tiongkok lebih berdampak pada lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tekanan pada harga impor.

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa tarif akan berdampak negatif terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja, dan Wall Street. Hal ini dapat menyebabkan pelonggaran kebijakan Fed. 

Sementara itu, makalah tahun 2021 berjudul “Perlindungan Perdagangan dan Ketenagakerjaan Manufaktur AS” yang ditulis oleh Chunding Li, Jing Wang, dan John Whalley menemukan bahwa tindakan proteksionis mengurangi lapangan kerja di sektor manufaktur.

Maka hilangnya lapangan kerja akan menjadi lebih serius jika mitra dagang Amerika mengambil tindakan pembalasan.

Apakah perekonomian mempengaruhi RI?

Dalam ketegangan tersebut, para ekonom melihat adanya potensi penurunan perdagangan global, termasuk Indonesia dalam hal ekspor. Padahal, ekspor menjadi salah satu harapan yang akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025. 

Artinya ekspektasi kita pada tahun 2024 dan 2025, khususnya permintaan global yang lebih baik, bisa berkurang, kata Arief Ramayandi, kepala ekonom Asian Development Bank (ADB) pada Asian Development Review di Gedung Perpustakaan Nasional, Kamis (. 16/5). 

Menurutnya, pada dasarnya Indonesia tidak terkena dampak langsung, namun terdapat partisipasi yang besar dalam perdagangan global, dimana negara-negara Asia, termasuk dunia, memiliki jaringan rantai produksi untuk memasok barang dan pangan. 

Sementara itu, ia juga menilai Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak bisa menjadi perantara antara AS dan Tiongkok. 

“Kalau kita ada perselisihan dagang dengan negara lain, siapa yang bisa menyelesaikannya? Kalau itu terjadi, berarti ekspor neto sebagai komponen pertumbuhan bukan prospek yang bagus,” ujarnya. 

Selain itu, ia mencatat kinerja ekspor Indonesia saat ini tidak terlalu kuat karena kurangnya permintaan global. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel