Bisnis.com, Jakarta – Pemulihan industri padat karya masih belum terlihat nyata. Situasi ini juga tercermin dari menurunnya tingkat penyerapan tenaga kerja dan dampaknya adalah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dikenal dengan PHK massal, khususnya pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki.

Di industri tekstil, Asosiasi Produsen Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI) melaporkan adanya PHK sejak akhir tahun 2022-2023 yang mencapai satu pekerja.

Beberapa produsen tekstil juga tampaknya melaporkan lebih sedikit jumlah karyawan dalam laporan keuangan mereka. Hal ini menunjukkan fase kontraksi industri padat karya belum hilang.

PT Pan Brothers Tbk (PBRX) mengutip laporan keuangan produsen pakaian jadi dan tekstil yang menyebutkan jumlah karyawan dan anak perusahaan mengalami penurunan dari 25.174 orang menjadi 24.459 orang per 31 Maret 2024.

Namun hingga triwulan I-2024, beban distribusi gaji, upah, dan tunjangan meningkat 24,4% secara tahunan menjadi USD 6,28 juta atau setara Rp 99,7 miliar (kurs Rp 15.873), dibandingkan akhir tahun 2024. 5,05 juta USD per tahun atau Rp.

Dari sisi kinerja, pendapatan PBRX pada kuartal pertama tahun 2024 adalah sebesar US$92,25 juta atau 1,4 triliun rupiah, dibandingkan dengan US$1100,4 juta atau 1,74 triliun rupiah pada kuartal pertama tahun 2023, atau mengalami penurunan tahunan sebesar 16,16%.

Tak hanya PBRX, emiten tekstil lainnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) juga mengalami penurunan kinerja jelang kuartal III 2023. Berdasarkan laporan keuangan terbaru, SRIL melaporkan penurunan rugi bersih tahunan sebesar 22% menjadi 1,77 triliun rupiah untuk periode Januari hingga September 2023.

Seiring dengan penurunan penjualan, beban pokok penjualan SRIL juga mengalami penurunan sebesar 50,69% dari $638,97 juta menjadi $315,08 juta.

Harga pokok barang melebihi penjualan, mengakibatkan kerugian kotor SRIL sebesar $66,5 juta. Namun kerugian kotor SRIL turun 59,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$164,8 juta.

Pendapatan yang lebih rendah dan biaya yang lebih tinggi juga berkontribusi terhadap kerugian bersih pada kuartal ketiga tahun 2023.

Meski mengalami penurunan, perusahaan masih mempekerjakan 16.370 orang pada September 2023. Namun jumlah ini turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu (16.441 pegawai).

Dari sisi biaya alokasi gaji dan tunjangan lainnya meningkat dari US$301 pada triwulan III tahun 2022 menjadi US$4.134 pada periode yang sama tahun 2023.

Di industri sepatu, PT Shoes Bata Tbk. Sebagai bagian dari transformasi bisnisnya, BATA baru-baru ini menutup pabriknya. Sejak tahun 2020, produsen alas kaki asal Ceko ini telah mengurangi tenaga kerjanya dari 564 menjadi 390 karyawan.

Hingga akhir tahun 2023, BATA akan mempekerjakan 370 karyawan tetap dan kontrak. Meski pada kuartal I 2024, manajemen memutuskan melakukan PHK besar-besaran dan menutup pabrik sepatu BATA di Purwakarta.

Laporan keuangan di situs Bursa Efek Indonesia (BEI) per 31 Desember 2023 menunjukkan penjualan bersih BATA pada tahun 2023 sebesar Rp609,61 miliar, turun 5,25% dari Rp643,45 miliar pada periode yang sama tahun 2022.

Akibat penjualan yang lebih rendah, beban pokok perseroan pun turun menjadi Rp380,55 miliar dari Rp383,43 miliar pada 2022. .

Sementara itu, beban penjualan dan pemasaran BATA meningkat dari sebelumnya Rp 214,46 miliar pada tahun 2022 menjadi Rp 259,9 miliar pada tahun 2023.

Per 31 Desember 2023, setelah dikurangi biaya-biaya dan beban lain-lain, BATA mencatatkan rugi bersih yang diatribusikan kepada induk usaha sebesar Rp 190,28 miliar. Kerugian ini meningkat hampir 80% menjadi Rp 105,91 miliar dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Penyerapan tenaga kerja industri menurun

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pegawai yang terkena PHK pada tahun 2023 sebanyak 358.809 orang, meningkat signifikan dibandingkan tahun 2022 sebanyak 25.114 orang.

Direktur Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan Indonesia perlu meningkatkan investasi pada industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Sebab, terdapat 3 juta pencari kerja baru dan 300.000 pekerja yang terkena PHK yang membutuhkan pekerjaan setiap tahunnya.

“Pemerintah harus meningkatkan daya saing industri penciptaan lapangan kerja dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengurangi birokrasi serta kebijakan yang menghambat industri,” ujarnya.

Bahkan, investasi pada industri padat modal seperti hilirisasi pertambangan lebih bergairah dalam merealisasikan investasinya. Hal ini berdampak pada rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja karena investasi pada industri padat karya masih terbatas.

Penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja terus berlanjut selama satu dekade. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi pada tahun 2013 mencapai Rp398,6 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 1,82 juta orang.

Artinya jumlah tenaga kerja yang terserap per investasi 1 triliun rupiah adalah 4.515 tenaga kerja. BKPM mencatat rasio pegawai per Rp 1 triliun mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga sekarang.

Sementara pada tahun 2023, jumlah investasi yang terealisasi akan mencapai 1.418,9 triliun rupiah, dan jumlah angkatan kerja akan mencapai 1,82 juta orang. Pada periode tersebut, setiap investasi Rp 1 triliun mampu menarik 1.285 tenaga kerja.

Realisasi investasi tahun lalu lebih tinggi, namun penyerapan tenaga kerja masih sama seperti satu dekade lalu. Padahal, lapangan kerja yang diserap investasi belum mencapai 2 juta orang.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel