Bisnis.com, JAKARTA – Sikap dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kini menjadi sorotan publik. Pasalnya, ada konflik antara NU dan Muhammadiyah terkait pemerintahan saat ini. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat atau ormas keagamaan termasuk NU dan Muhammadiyah. 

Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 83 A Ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sedangkan IUP pertambangan baru diberikan kepada 6 organisasi keagamaan yaitu NU, Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. 

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membeberkan alasan Presiden Jokowi memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat atau ormas keagamaan. 

“Menurut kami dan Presiden [Jokowi], kontribusi para tokoh ini tidak bisa kita pungkiri, padahal merekalah yang memerdekakan bangsa ini,” kata Bahlil dalam konferensi pers di kantor Kementerian Investasi, Jumat. Tanggal 7/6/2024).

Selain itu, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf j Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Hin Nomor 4 Tahun 2009, pemerintah juga berhak memberikan prioritas pada wilayah yang mempunyai pertambangan. izin usaha Khusus. (WIUPK).

Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah akan menyerahkan batubara lama milik Grup Bakrie, PT Kaltim Prima Coal (KPC) kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). KPC merupakan perusahaan pertambangan batu bara milik anak perusahaan Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI). 

“Hadiahnya ke PBNU bekas KPC [tambang batu bara],” kata Bahlil. 

Bahlil mengatakan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sedang diproses dan rencananya akan diterbitkan minggu depan.

PBNU, kata Bahlil, membuat unit usaha dan mengelola WIUPK di Kementerian Investasi/BKPM. 

“NU [WIUPK] ya. Sudah berproses. Mungkin kalau tidak salah minggu depan akan selesai,” ujarnya. 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut gembira kabar adanya ormas keagamaan yang mendapat IUP dari pemerintah. 

“Ketika pemerintah memberikan kesempatan ini, untuk mengambil kebijakan reformasi ini, kami melihatnya sebagai peluang dan segera kami ambil. Masyarakat menginginkannya, apa lagi,” kata Direktur Jenderal PBNU KH Yahya Cholil Staquf dilansir Antara, Sabtu ( 8/8/2019). 6/2024). 

Gus Yahya, sapaan akrabnya, mengatakan tuntutan PBNU cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Menurutnya, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga tidak hanya kebutuhan keagamaan saja, namun juga kebutuhan masyarakat meliputi ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan masyarakat dan lain-lain. 

Gus Yahya mengungkapkan hasil survei yang membuktikan PBNU memiliki anggota sekitar separuh penduduk Indonesia. Ia menambahkan, PBNU juga memiliki sekitar 3.000 asrama Islam (ponpes) dan madrasah yang memerlukan banyak sumber daya untuk menjalankannya.

Salah satunya adalah Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di Kediri, Jawa Timur. Dikatakannya, asrama Islam ini memiliki jumlah santri lebih dari 43.000 orang, namun fasilitasnya sangat sederhana.

Dikatakannya, para santri di asrama Islam ini tinggal di kamar yang berukuran 3×3 meter, sehingga santri hanya boleh membawa barang-barang yang ada di kamarnya, namun tidur dimana saja, seperti balkon kelas dan masjid.

“Nah, kalau menunggu konfirmasi langsung dari pemerintah, kita harus menghadapi parameter birokrasi yang memakan waktu lama,” ujarnya.

Reaksi berbeda justru datang dari organisasi keagamaan lain. Santer diberitakan, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) masuk dalam daftar salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mendapat izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari pemerintah.

Ketua PP PMKRI Tri Natalia Urada membenarkan hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai usulan pemerintah untuk mengelola tambang tersebut bersama PMKRI. Kalaupun ada tawaran, PMKRI pasti menolak.

Pertimbangan yang paling mendasar adalah kami tidak ingin independensi PMKRI sebagai organisasi kemahasiswaan, kepemimpinan dan perjuangannya dikerjasamakan oleh kepentingan dunia usaha pertambangan. Kami akan terus menyelesaikan dan mengkritisi berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari beroperasinya PMKRI tersebut. industri pertambangan,” kata Tri in. . Siaran pers, Rabu (5/6/2024).

Muhammadiyah tarik dana miliaran dari BSI (BRIS)

Di saat PBNU sedang mendapat “angin kencang” dari pemerintahan Jokowi, ternyata Muhammadiyah justru menciptakan keretakan yang menimbulkan kisruh di dunia perbankan. 

Muhammadiyah memutuskan untuk mentransfer atau menarik simpanan miliaran rupiah dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI (BRIS) dengan bank syariah lainnya. 

Keputusan itu terungkap dalam pernyataan pimpinan pusat Muhammadiyah (PP) tentang integrasi keuangan dalam Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Surat tertanggal 30 Mei 2024 tersebut meminta rasionalisasi simpanan dan pembiayaan dana di BSI pada bank syariah lain, seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat, dll.

Saat dikonfirmasi mengenai kebenaran surat dan keputusan tersebut, Ketua PP Bapak Muhammad Anwar Abbas menanggapinya dengan mengatakan, Pihaknya mempunyai komitmen besar untuk mendukung perbankan syariah. Oleh karena itu, Muhammadiyah merasionalisasi dan mengkonsolidasikan permasalahan keuangannya.

Dikatakannya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024), “Hal ini dilakukan agar Muhammadiyah dapat berkontribusi dalam terciptanya persaingan yang sehat antar bank syariah yang ada, apalagi jika Bank Syariah dunia dikaitkan dengan Muhammadiyah,” dikatakan.

Penarikan dana jumbo yang tiba-tiba itu membuat masyarakat bertanya-tanya tentang situasi antara Muhammadiyah dan BSI. 

Anwar mengatakan, dana Muhammadiyah yang ditempatkan di BSI terlalu banyak sehingga dianggap risiko konsentrasi dari sudut pandang bisnis.

Sementara itu, penempatan dana dan pembiayaan pada bank syariah lain dinilai masih kecil sehingga bank syariah lain tersebut kalah bersaing dengan margin yang ditawarkan BSI.

“Jika terus dibiarkan, persaingan antar bank syariah yang ada tentu tidak sehat dan tentunya tidak sesuai dengan yang kita inginkan,” ujarnya.

Sementara itu, Ryan Kiryanto, ekonom dan konsultan ahli di Institute of Social and Digital Economy (ISED), menilai keputusan organisasi menarik uang dari bank merupakan hal yang wajar sebagai bagian dari strategi pengelolaan dana.

“Apalagi yang ditarik dari PP Muhammadiyah itu tidak semuanya dana dari daerah yang berbeda, kalau tidak salah. Tentu itu semua hak pemilik dana, ubah strateginya,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Jumat. (7/6/2024).

Menanggapi hal tersebut, Ryan juga menekankan bahwa keputusan organisasi yang terdiversifikasi dalam mengelola dana untuk strategi pengurangan risiko tidak dapat dihindari. 

“Secara umum prinsipnya jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Selain itu, dalam pengelolaan dana, tujuan diversifikasi adalah untuk menangkap kemungkinan imbal hasil yang lebih baik,” imbuhnya.

Pria yang merupakan mantan bankir Bank Himbara ini juga meyakini likuiditas BSI tidak akan goyah jika rasio finance to deposito atau FDR (finance/loan-to-deposit rasio) tetap terjaga. 

“Likuiditas pasti tidak menjadi masalah kalau rasio FDR setelah hasilnya masih kuat, di kisaran 60% sampai 70% itu masih cukup, kalau sudah lebih dari 90% harus dikompensasi, oleh BSI harus. Buat strategi baru untuk menarik deposan baru,” imbuhnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel