Bisnis.com, JAKARTA – Rupee kembali ditutup menguat terhadap dolar AS pada Rp 15.411 pada Kamis (9 Mei 2024). Penguatan rupee terjadi di tengah melemahnya dolar.
Rupee menguat 68,50 poin atau 0,44% terhadap dolar AS, menurut data Bloomberg. Indeks dolar AS turun 0,07% menjadi 101,28.
Sementara itu, sebagian besar mata uang lainnya di Asia ditutup menguat. Misalnya saja yen Jepang menguat 0,07%, ringgit Malaysia menguat 0,36%, sedangkan baht Thailand, peso Filipina, dan yuan Tiongkok masing-masing menguat 0,83%, 0,51%, dan 0,15%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi sebelumnya mengatakan investor sedang mempersiapkan data penting pada pekan ini, termasuk laporan non-farm payrolls AS yang akan dirilis Jumat depan.
Ibrahim mengatakan, laporan ketenagakerjaan diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap The Fed atau keputusan The Fed yang akan diumumkan pada 18 September 2024.
“Ekspektasi terhadap data nonfarm payrolls ini meningkat setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell bulan lalu menyarankan penurunan suku bunga di tengah kekhawatiran melemahnya pasar tenaga kerja,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menurut alat CME FedWatch, kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin adalah 63% dan kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin adalah 37%. Secara keseluruhan, pasar memperkirakan total penurunan suku bunga sebesar 100 basis poin pada tahun 2024.
Dari dalam negeri, Ibrahim mengatakan pasar bereaksi positif terhadap data inflasi Agustus 2024 yang sebesar 2,12% year-on-year. Posisi ini terus meningkat karena didorong oleh penurunan harga sebagian besar produk pangan.
Namun pemerintah tetap mewaspadai potensi risiko yang dapat berdampak pada komoditas beras pada musim kemarau, tutupnya.
Inflasi harga yang diatur pemerintah naik 1,68% tahun-ke-tahun karena kenaikan harga bahan bakar dan rokok yang tidak disubsidi. Sementara itu, inflasi harga yang bergejolak melanjutkan tren penurunannya sebesar 3,04% year-on-year.
Penyebab utama turunnya harga pangan adalah pasokan yang mencukupi saat musim panen dan biaya produksi yang lebih rendah, misalnya untuk pakan jagung.
Sebelumnya, indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia mencatatkan angka 48,9 pada Agustus 2024. Nilai tersebut mencerminkan penurunan output produksi global akibat tekanan permintaan.
Mitra dagang dan kawasan ASEAN juga menghadapi tantangan yang sama. Misalnya PMI Amerika Serikat sebesar 48,0 dan Jepang sebesar 49,8. Sementara itu, PMI manufaktur di Malaysia dan Australia juga turun masing-masing menjadi 49,7 dan 48,5.
“Dengan melambatnya PMI Indonesia, kinerja banyak industri terkemuka di negara ini tetap optimis.” Sepanjang kuartal kedua, tingkat pertumbuhan tahunan industri makanan dan minuman, farmasi dan kimia tetap di atas 5%. kata Ibrahim.
Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan WA Channel