Bisnis.com, JAKARTA – Pasca keluarnya Peraturan Penyelenggaraan Undang-undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, permusuhan terhadap produk tembakau seperti rokok semakin meningkat. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP no. 28/2024 melarang penjualan eceran sigaret satu batang, sebagai aturan pelaksanaannya.
Pemerintah mengatakan tujuan larangan tersebut adalah untuk mencoba mengurangi prevalensinya, khususnya di kalangan perokok muda. Pasal 434, hal.1. Pada ayat c PP Nomor 28 Tahun 2024 disebutkan “penjualan eceran satu batang rokok, kecuali cerutu dan rokok elektronik” dilarang.
Dan sebagian besar orang yang menjual tembakau adalah pedagang yang tersebar di desa-desa terpencil. Pembeli rokok sudah lama dikenai pembatasan usia.
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya apakah peraturan tersebut akan efektif? Mengingat “kriminalitas” itu sangat penting, terutama di kalangan remaja, setiap orang bisa membeli rokok kotak dengan cara yang berbeda-beda, atau menitipkannya kepada orang dewasa.
Masalah yang lebih rumit adalah bahwa ketentuan tersebut tampaknya menyasar pedagang kecil makanan dan merugikan perekonomian masyarakat umum. Hingga saat ini penjualan rokok dalam kemasan hanya terbatas pada gerai ritel modern saja.
Selain kendala pelaksanaan, PP tersebut juga tidak memuat sanksi yang jelas. Namun sanksi akan diberikan kepada pihak yang memproduksi rokok dan rokok elektrik dengan menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan.
Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, mengatakan regulasi kesehatan hanya berlatar belakang mematikan industri tembakau (IHT). Selain itu, dampaknya terhadap pengecer dan perokok.
Ia menilai tidak ada hubungan antara konsumsi dan penjualan rokok di tingkat eceran. Pelarangan penjualan eceran tembakau justru akan mematikan pedagang kecil yang bergantung pada tembakau.
“Apa yang terjadi jika pengecer ini diatur?” “Tidak usah terburu-buru, hanya industri saja yang diatur, kenapa turun ke bawah malah berujung pada rokok selundupan,” kata Trubus.
Menurutnya, fenomena tersebut sangat paradoks jika dikaitkan dengan kepentingan pemerintah terhadap industri tembakau. Ketertarikan itu, jelas Trubus, terkait dengan penerimaan cukai dan penciptaan lapangan kerja.
Tembakau dan produk turunannya masih menjadi penyumbang utama penerimaan cukai. Pada tahun 2023, pemerintah memperkirakan penerimaan bersih cukai hasil tembakau sebesar Rp 213,48 triliun atau setara dengan 91,78% dari target APBN 2023.
Cukai atau CHT pada produk tembakau cukup besar dibandingkan dengan cukai pada produk lainnya. Sedangkan cukai minuman beralkohol hanya Rp 8,10 triliun.
Tak hanya itu, rantai produksi industri tembakau juga menjadi urat nadi kehidupan banyak orang. Saat ini tercatat 6,1 juta orang memperoleh pendapatan dari setiap produksi rokok.
Menurut Fairi Akbar, pengamat pajak Center for Tax Analysis Indonesia (CITA), penerbitan PP kesehatan secara tidak langsung akan menurunkan penerimaan cukai di masa depan. Hal ini tercermin dari menurunnya pendapatan CHT pada tahun lalu.
“Ketika konsumsi menurun, otomatis penerimaan cukai hasil tembakau akan menurun. “Kita akan lihat efektivitas kebijakan ini,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (30/7/2024).
Persoalan berikutnya, penegakan UU Kesehatan menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah yang menilai penjualan tembakau ilegal. Oleh karena itu, apakah pemerintah siap memitigasi risiko berkurangnya penerimaan cukai yang menyebabkan terhentinya industri tembakau bagi 6,1 juta petani tembakau?
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA