Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia patut mewaspadai beberapa konsekuensi yang mungkin timbul jika resmi bergabung dengan kelompok negara BRICS, termasuk meningkatnya ketegangan dengan negara Barat seperti Amerika Serikat.
Ahmad Khoirul Umam, Direktur Eksekutif Paramadina Public Policy Institute (PPPI), mengatakan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan bentuk diplomasi jalan tengah dan sikap yang lebih inklusif di dunia internasional setelah sebelumnya setuju untuk bergabung dengan Organization for Economic Co- Operasi dan Pembangunan (OECD). ).
Di sisi lain, kata dia, Indonesia juga harus siap menghadapi konsekuensinya jika resmi bergabung dengan BRICS. Masuknya Indonesia ke dalam BRICS dapat menimbulkan ketegangan hubungan dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya.
“Mengikuti aliansi internasional non-Barat akan menghasilkan pola hubungan yang penuh dengan kecurigaan. Indonesia bisa saja menghadapi ketegangan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia yang bisa disebut sebagai sheriff keamanan Amerika di kawasan Pasifik,” ujarnya. BRICS vs OECD. Indonesia mana yang harus dipilih” dalam diskusi online. Rabu (30/10/2014).
Senada dengan itu, Wijayanto Samirin, ekonom senior Universitas Paramadina, mengatakan masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS dapat memperburuk hubungan dengan Amerika Serikat.
Meski demikian, ia mengingatkan Indonesia untuk tidak takut dan tetap berani mengambil langkah bergabung dengan BRICS jika bermanfaat bagi negara.
“Ini akan membuat hubungan kita dengan Amerika menjadi sangat bermasalah. Dampaknya tentu akan ada, namun seberapa besar dampaknya yang bisa diukur oleh Indonesia? Jangan biarkan ketakutan akan dampak menghalangi Indonesia untuk mengambil tindakan,” jelas Vijayanto. .
Vijayanto mengatakan potensi risikonya akan bergantung pada diplomasi Indonesia di masa depan. Ia mengatakan, Indonesia harus bisa memberikan kesan bahwa keputusan bergabung dengan BRICS bukanlah tindakan yang memihak pada blok tertentu.
Ia mengatakan beberapa negara lain yang sedang atau berminat menjadi anggota BRICS masih memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat, seperti dua penggagasnya, Brazil dan India.
“India dan Brazil, sebagai salah satu penggagas BRICS, merupakan sahabat terdekat Amerika di Asia Selatan dan Amerika Selatan. Kemudian Vietnam yang lebih dekat dengan BRICS telah memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan AS sejak tahun 2000,” imbuhnya.
Sementara itu, Umam juga mengingatkan agar Indonesia dapat memanfaatkan peluang bergabungnya BRICS dan OECD untuk mendorong pembangunan negara. Ia mengatakan kerja sama dengan kedua organisasi tersebut akan memberikan manfaat yang besar, terutama dari sisi ekonomi.
“Jika kita lambat dalam memilih, akan ada dampak finansial, terutama dari segi waktu, jika kita lambat dalam menyikapi peluang tersebut,” kata Umam. Peluang dan risiko bergabung dengan BRICS
Sementara itu, Umam mengatakan bergabungnya BRICS akan meningkatkan akses Indonesia terhadap pembiayaan infrastruktur. Pasalnya BRICS memiliki lembaga keuangan sendiri bernama New Development Bank (NDB) yang memberikan alternatif pembiayaan infrastruktur.
“BRICS dapat menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur bagi Indonesia yang persyaratannya tidak seketat OECD. Hal ini dapat mendongkrak agenda pembangunan infrastruktur Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” ujarnya.
Selain itu, dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia akan mempunyai posisi tawar di dunia internasional terutama dari sudut pandang ekonomi. Ahmad mengatakan hal ini akan menjadi penting dalam diplomasi ekonomi, mengingat negara-negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang lebih besar dalam hal arus investasi dan perdagangan global.
Meski demikian, Umam mengingatkan agar Indonesia selalu melakukan diplomasi jalan tengah tanpa terlalu condong ke arah Barat atau Timur.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan Indonesia untuk mengantisipasi kemungkinan risiko ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok. Hal ini mengingat posisi Tiongkok sebagai negara anggota BRICS dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Sementara itu, dosen hubungan internasional Universitas Paramadina Fajar Anandy menambahkan, Indonesia juga harus bisa menyeimbangkan hubungan antara negara anggota BRICS, khususnya Rusia dan China, serta negara-negara Barat.
Fajar juga menyoroti hubungan dagang yang signifikan antara Indonesia dan Tiongkok, seiring dengan tingginya tingkat ekspor dan impor yang dilakukan kedua negara.
“Suka atau tidak, kita akan lebih terhubung dengan mereka (BRICS), terutama China, karena ada kepentingan dalam konteks ekonomi dan lainnya. Persoalannya bagaimana Indonesia menyeimbangkan dengan negara-negara Barat,” ujarnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel