Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan tarif pajak yang dilakukan pemerintah dinilai penting dalam posisi Indonesia menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh Forum Internasional Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pembangunan (Infid) Indonesia yang bekerja sama dengan Celios, The Prakarsa, TI Indonesia, PWYP Indonesia dan Migrant CARE.

Laporan penelitian menunjukkan bahwa tarif pajak Indonesia tetap stabil selama dekade terakhir, meskipun tarif pajak negara tersebut meningkat secara nominal. Tarif pajak penghasilan Indonesia baru saja menyentuh 11%.

Penerimaan pajak Indonesia dinilai masih jauh dibandingkan negara maju, bahkan terbilang lebih rendah dibandingkan negara berkembang lainnya, yaitu sekitar 20%.

“Situasi perpajakan di Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan di negara-negara miskin,” demikian bunyi studi tersebut, Selasa (23 Juli 2024).

Indonesia diyakini akan menanggung dampak dampak finansial bergabungnya Indonesia ke OECD. Pertama, Indonesia hendaknya tidak ingin menjadi negara penerima bantuan pembangunan, melainkan menjadi negara yang wajib memberikan bantuan pembangunan.

Kedua, Indonesia berisiko membayar iuran yang lebih tinggi dibandingkan beberapa negara Uni Eropa, berdasarkan iuran wajib dan iuran sukarela anggota, yang dihitung menurut tarif perhitungan dan menurut besaran perekonomian atau PDB.

“Indonesia bisa bergabung dengan kelompok negara maju seperti OECD. Namun, karena tarif pajak di Indonesia hanya setara dengan negara miskin, maka negara ini perlu bekerja keras untuk memperbaikinya.”

Menanggapi temuan studi tersebut, Eka Hendra Permana, analis perubahan iklim dan politik di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengatakan tarif pajak Indonesia yang secara umum masih rendah merupakan sebuah permasalahan.

“Dari segi perpajakan, tampaknya di antara 38 negara anggota OECD, Indonesia masih berada pada level rendah,” ujarnya.

Dijelaskannya, dalam hal ini Kementerian Keuangan mempunyai kewajiban untuk menemukan rencana ekonomi yang cerdas untuk menjamin penggunaan APBN dengan tiga fungsi, yakni APBN sebagai alat distribusi, alat penyeimbang, dan penyaluran anggaran.

Ia juga menjelaskan, untuk menjadi anggota OECD, Indonesia harus mencapai angka 260.

Dari 260 langkah tersebut, 46 diantaranya berkaitan dengan fungsi dan tugas pokok (tupoksi) Kementerian Keuangan. Secara khusus, 23 di antaranya terkait pajak dan 5 terkait pengelolaan anggaran.

Ia mengatakan Kementerian Keuangan akan terus mengkaji dan memantau untuk dapat membandingkan standar tersebut dengan apa yang dilakukan negara-negara anggota OECD.

“Kami kemudian akan bergabung bersama, berdiskusi dan memantau untuk memenuhi standar OECD. Berapa banyak bagian yang masih ada dan masih ada penguatan dan penyempurnaan regulasi yang masih harus dilakukan Kementerian Keuangan untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan OECD, ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel