Bisnis.com, Jakarta – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyayangkan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang terkesan asal-asalan dan berpotensi mengancam kebebasan pers.
Dalam revisi UU Penyiaran, banyak pasal yang terkait dengan persoalan IJTI. Pertama, Pasal 50 B.2 huruf c yang melarang penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif.
IJTI menilai pasal ini menimbulkan banyak penafsiran dan kebingungan. Selama karya tersebut mengikuti etika jurnalistik, tidak seorang pun boleh menghalangi berita investigasi untuk disiarkan di televisi.
“Pertanyaan besarnya adalah, mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan jurnalisme investigatif?” Tulis IJTI di Pertanyaan Resmi, Senin (13-05-2024).
Kedua, Pasal 50 B.2 huruf k, isi siaran dan isi siaran yang mengandung muatan berita bohong, pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, dan fitnah dianggap multitafsir.
Juga tentang penghinaan dan penistaan. IJTI melihat artikel yang multitafsir dan kompleks berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan menghukum jurnalis/surat kabar.
“Kami sepakat sistem pemerintahan menggunakan demokrasi, media adalah pilar keempat rakyat. Demokrasi. Beliau mengatakan, “Media mempunyai tanggung jawab untuk mengontrol masyarakat agar proses pemerintahan transparan. Terbuka, akuntabel, dan sepenuhnya melaksanakan hak-hak masyarakat.
Ketiga, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyatakan penyelesaian sengketa terkait pekerjaan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh CPI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikatakan pasal ini harus direvisi karena bersinggungan dengan UU No. 40/1999 tentang media yang mengatur penyelesaian perselisihan media di Dewan Pers.
IJTI juga melihat penyelesaian sengketa siaran jurnalistik di CPI berpotensi mengganggu kerja profesional jurnalistik, mengingat CPI merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keputusan politik DPR.
Terkait hal itu, IJTI menolak dan menuntut penghapusan beberapa pasal dalam RUU Penyiaran Radio yang mengancam kebebasan media.
Kemudian menyarankan agar Tiongkok meninjau rancangan undang-undang tentang penyiaran radio dengan partisipasi pemangku kepentingan termasuk organisasi jurnalistik dan masyarakat.
Sekaligus mengimbau semua pihak mengkaji ulang RUU Penyiaran Radio agar tidak menjadi alat untuk menyembunyikan kebebasan berita dan kreativitas individu di berbagai platform.
Sekadar informasi, pemerintah bersama DPR berencana mengubah UU No. 32/2002 tentang Radio dan TV. Rencana tersebut sudah memasuki tahap akhir revisi RUU yang diinisiasi DPR dan harus dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel