Bisnis.com, JAKARTA – PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) merespons terbukanya peluang insentif kendaraan berbahan bakar nabati (biofuel) berbahan bakar bioetanol (BBN) oleh pemerintah. Pasalnya sebagian besar mobil Toyota memiliki teknologi bahan bakar fleksibel berbasis bioetanol.

Sebelumnya, Kementerian ESDM mengatakan jika ingin mendorong kendaraan bioetanol, maka harus berkomitmen membangun ekosistem top-down dan menarik investasi seperti kendaraan listrik baterai.

Namun menurut Wakil Presiden TMMIN Bob Azam, ekosistem bioetanol sangat membutuhkan kerja sama berbagai pihak agar dampak ekonominya bisa dirasakan secara luas.

“Tidak bisa dijalankan oleh partai dari atas ke bawah,” kata Bob kepada Bisnis. , Kamis (26/9/2024).

Selain itu, banyak negara kini mempunyai kebijakan untuk mencampur etanol sebagai bahan bakar, dengan kandungan berkisar antara 5% (E5) dan 10% (E10). Hal ini bertujuan untuk mengurangi emisi, meningkatkan porsi energi baru terbarukan dan memberikan nilai tambah bagi petani.

Sejauh ini di Indonesia, bahan bakar Pertamax Green 95 dicampur bioetanol 5% dijual di 75 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Penerapan campuran bioetanol 5% dalam bensin, yang dikenal sebagai E5, akan ditingkatkan secara bertahap menjadi 10% pada tahun 2029.

Namun perkembangan bioetanol relatif lambat, karena jika mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015, Indonesia harus menggunakan campuran etanol 20% pada tahun 2025. 

“Hal ini tidak hanya menyangkut produsen mobil, tetapi juga kebijakan energi nasional dan masyarakat sebagai konsumen,” ujarnya.

Bob juga Target bauran EBT Indonesia pada tahun 2025 yang semula ditetapkan sebesar 23%, kini diturunkan menjadi 17-19%. Pada akhir tahun 2023, bauran EBT di Indonesia hanya mencapai 13,1%. Hal ini masih jauh dari rencana.

“Apalagi penetrasi energi terbarukan kita saat ini masih tertinggal dari kurva target 23% yang saat ini berada di angka 13%,” imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang insentif bagi kendaraan yang menggunakan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol.

Namun menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTK) Kementerian ESDM Inia Listiani Dewi mengatakan belum ada pembahasan khusus mengenai pemberian insentif kendaraan bioetanol. 

Menurutnya, peluang tersebut masih ada karena seluruh pelaku usaha mendapatkan insentif mitigasi iklim atau penurunan emisi melalui ekonomi karbon.

“Nah, kondisi itu bisa konstruktif ya. “Nanti bisa memberikan insentif seperti itu, mau kemana tergantung dana [APBN],” kata Inia di sela-sela Green Initiative Conference di Jakarta, Selasa (24/9/2024).

Ia juga menyoroti, jika produsen kendaraan bioetanol ingin mendapat insentif, mereka harus berkomitmen membangun ekosistem top-down serta menarik investasi pada kendaraan listrik berbasis baterai.

Misalnya saja produsen mobil asal Korea Selatan, Hyundai, yang membangun fasilitas pengemasan baterai di Sikarang, Jawa Barat. PT Hyundai Energy Indonesia, yang menjalankan pabrik pengemasan, menginvestasikan $60 juta, atau sekitar $900 miliar.

Tak hanya Hyundai, PT Indonesia BTR New Energy Materials selaku produsen anoda baterai kendaraan listrik di Kawasan Ekonomi Khusus (KK) Kendal, Jawa Tengah juga turut hadir. Pabrik baterai tersebut diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2024.

PT Indonesia BTR New Energy Material merupakan bagian dari BTR New Material Group, sebuah perusahaan asal Tiongkok dan salah satu produsen material anoda terkemuka di dunia. Investasi perusahaan ini di Indonesia dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama senilai $478 juta dan tahap kedua senilai $299 juta.

“Nah, kalau ekosistem ini lahir, insentif bisa diterapkan. Karena ada kompensasi, investasinya akan datang kan? Makanya kita tekankan keberadaan ekosistem itu,” jelas Inya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan The Watch Channel.