Bisnis.com, Jakarta – Pengamat pajak menilai pemerintah bisa menaikkan tarif pajak menjadi 15%, bukan 23% seperti target Prabowo, meski fiskus belum mendirikan kantor penerimaan negara.

Darussalam, pemeriksa pajak dan pendiri Danish Darussalam Tax Center (DDTC), mengatakan Indonesia perlu mengubah struktur penerimaan pajaknya untuk menaikkan tarif pajak minimal 15%.

Awalnya fokusnya hanya pada nominal penerimaan pajak, namun kini harus diukur dengan tax rasio yang disepakati dengan IMF, yang mana bagi negara berkembang seharusnya rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 15. %.

“DPR sering bertanya kepada saya kenapa tarif pajak stagnan. Saya hanya bilang: Beranikah kita mengubah struktur penerimaan pajak?” Hal itu diungkapkannya dalam acara diskusi rutin perpajakan yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada 12-11-2024.

Berdasarkan perhitungan perusahaan, Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan harga berlaku (ADHB) tahun 2023 sebesar Rp20.892,4 triliun atau 15% setara Rp3.133,86 triliun.

Perubahan tersebut, menurut Dar es Salaam, berarti pemerintah harus mengejar sektor-sektor yang memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB namun memberikan kontribusi kecil terhadap pendapatan pajak, seperti sektor pertanian.

Sektor komersial ini dinilai terlaris kedua setelah sektor industri yang menyumbang 13,71% terhadap pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2024 atau 19,02%. 

Dar es Salaam menjelaskan, berdasarkan data tahun 2021, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 13,02 persen, namun pajak hanya 3 persen.

Persoalannya lagi-lagi sektor pertanian umumnya ditempati oleh usaha mikro, kecil, dan menengah serta masyarakat berpendapatan rendah. Oleh karena itu, perburuan pajak di sektor ini akan menimbulkan sikap politik yang kurang baik. 

“Ini seperti kita mengenakan pajak pada usaha mikro, kecil, dan menengah yang menyumbang 60 persen PDB,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Profesor Edi Salama Irianto dari Departemen Politik dan Hukum Perpajakan Universitas Islam Sultan Agung (Unisola) mendesak pemerintah mencari sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) khususnya dari Sumber Daya Alam (SDA). ) sektor.

Sayangnya, besarnya pemanfaatan sumber daya alam tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Berdasarkan hitung-hitungan Eddy, setidaknya arus kas pemerintah yang berasal dari PNBP SDA hanya sebesar 2 persen terhadap PDB.

Dengan asumsi pelaksanaan APBN hingga Oktober 2024, PNBP SDA migas tercatat sebesar Rp93,9 triliun dan SDA nonmigas sebesar Rp97,5 triliun.

Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong PNBP mencapai 6-7 persen PDB. Jika demikian, maka hasilnya adalah tarif pajak sebesar 23% termasuk BNPP (15% pajak + 7% BNPP = 23%).

Misalnya kalau bisa ditingkatkan dari 2 persen menjadi 6-7 persen, saya kira rasio pendapatan menjadi 23 persen bisa tercapai, ujarnya. 

Simak berita dan artikel lainnya dari Google News dan WA