Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa bank milik konglomerat seperti PT Bank Mayapada Internasional Tbk. (MAYA) oleh Dato Sri Tahir dan PT Bank Mega Tbk. Pendapatan milik Chairul Tanjung (MEGA) tersebut turun pada tahun berjalan atau Q1/2024. di awal kuartal.

Berdasarkan laporan keuangannya, laba bersih Bank Mayapada triwulan I 2024 turun 84,51% menjadi Rp5,5 miliar pada triwulan I 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp35,51 miliar pada periode yang sama. periode tahun sebelumnya.

Pada kuartal I 2024, Bank Mega membukukan penurunan laba year-on-year sebesar 18,55% menjadi Rp 802,51 miliar dibandingkan laba tahun lalu sebesar Rp 985,38 miliar.

PT Bank MNC Internasional Tbk. Milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo ( BABP ) membukukan laba bersih sebesar Rp 14,84 miliar pada Q1 2024, turun 31,98% YoY dari laba bersih Q1 2023 sebesar Rp 21,83 miliar.

Setelah itu, PT Bank Ina Perdana Tbk. BINA milik taipan Anthoni Salim membukukan laba bersih pada kuartal I 2024 sebesar Rp32,82 miliar, turun 44,22% year-on-year dibandingkan laba bersih kuartal I-2023 tahun sebelumnya sebesar Rp58,84 miliar.

Padahal, bank digital itu milik grup PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK), khususnya Superbank, membukukan kerugian Rp 105,06 miliar pada kuartal I 2024. Nilai kerugiannya meningkat tiga kali lipat secara year-on-year dan meningkat 203,97% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 34,56 miliar.

Wakil Presiden Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan, sektor perbankan menghadapi banyak tantangan di awal tahun.

Tantangannya adalah pelonggaran restrukturisasi kredit yang tidak diperpanjang, pelemahan rupiah, dan kondisi perekonomian serta daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya membaik, kata Bisni, Selasa (7/5/2024).

Sebelumnya, Presiden MNC Bank Rita Montagna mengatakan bank harus menghadapi tantangan eksternal, termasuk di awal tahun ini, misalnya fluktuasi suku bunga.

Vice President Bank Mega Diza Larentie juga mengatakan tren kenaikan suku bunga memberikan tekanan pada cost of fund atau disebut cost of fund (CoF).

“BI [Bank Indonesia] telah beberapa kali menaikkan suku bunga sejalan dengan The Fed. Lalu pinjamannya agak kontroversial, meminta penurunan bunga padahal ET naik, ujarnya.

Berdasarkan laporan keuangan, beberapa bank konglomerat juga mencatat penurunan pendapatan bunga bersih (NII), karena beban bunga meningkat seiring dengan tren tingginya suku bunga acuan.

NII Bank Mega misalnya, turun 9,16% year-on-year menjadi 1,38 triliun. Rp pada triwulan I tahun 2024. Margin bunga bersih (NIM) Bank Mega pun menurun dari 5,42% pada Maret 2023 menjadi 5,13% pada Maret 2024.

Bank MNC membukukan penurunan laba bersih 10,94% YoY menjadi Rp 140,53 miliar. Rasio NIM bank Hary Tanoe pun turun 63 basis poin (bp) menjadi 3,54% pada Maret 2024 dari 4,17% pada Maret 2023.

Selain penurunan kinerja MDI, penurunan kinerja bank-bank milik konglomerat juga disebabkan oleh penurunan nilai.

Bank Mayapada misalnya, mencatatkan kerugian penurunan nilai sebesar Rp 17,14 miliar pada tiga bulan pertama tahun 2024. Bank Mega juga meningkat dari Rp30,41 miliar pada Maret 2023 menjadi Rp50,07 miliar pada Maret 2024.

Bahkan, Superbank mencatatkan penurunan nilai yang membengkak 394,41% YoY menjadi Rp34,12 miliar pada Q1 2024 dari Rp6,9 miliar pada Q1 2023.

Padahal, Guru Besar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai bank konglomerat sebenarnya punya banyak keunggulan dalam meningkatkan kinerja. Misalnya, bank mendapat dukungan ekosistem dari kelompok usaha, yang membuat perbankan lebih aktif.

Dari ekosistem yang luas, bank dapat dengan aman memberikan pinjaman dan menerima modal pihak ketiga (DPK) yang berbiaya rendah.

“Bank juga punya modal yang besar, sehingga bisa berekspansi sesuka mereka. Dalam hal ini komitmen pemegang saham pengendali kuat. “Juga [konglomerat] bisnisnya banyak, pasti butuh dukungan finansial, dan wajib menjaga kinerja perbankan,” ujarnya.

Managing Director Segara Institute Peter Abdullah mengatakan bank konglomerat juga memiliki keunggulan NIM yang tinggi.

“NIM untuk konglomerat cenderung tinggi,” kata Piter.

Berita dan artikel lainnya di Google News dan saluran WA