Bisnis.com, JAKARTA – Jumlah organisasi masyarakat keagamaan (ormas) yang terbuka menerima izin pertambangan dari pemerintah terus meningkat. Usai persidangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, giliran Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) yang menunjukkan keinginan menguasai tambang tersebut. 

Ketua Umum PP Persis Jeje Zaenudin. Jeje mengatakan, sejak 2 bulan terakhir, Persis sedang melakukan kajian dan konferensi untuk menentukan pengelolaan tambang oleh organisasi keagamaan.

Oleh karena itu, dari rapat Dewan Pertimbangan dan Rapat Paripurna Dewan Hisbah atau Dewan Fatwa PP Persis yang dilaksanakan pada 2-3 Juli 2024, diputuskan organisasi tersebut menerima sumbangan tersebut.

“Kami memutuskan menerima hibah ini untuk industri pertambangan,” kata Jeje saat dihubungi Bisnis, Selasa (30/7/2024).

Selain itu, kata Jeje, pada pekan ini pihaknya akan menyiapkan seluruh persyaratan dan tata cara pengajuan operasi penambangan. 

Selain itu, Persis akan melakukan pertemuan dengan pemerintah untuk menentukan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh izin usaha pertambangan mandiri (IUPK). 

“Selain lokasi yang sudah ada juga ada peluang penambangan,” kata Jeje.

Inisiatif PP Persis ini menambah daftar organisasi keagamaan yang dipercaya mengelola WIUPK di negara tersebut.

Sejauh ini Nahdlatul Ulama (NU) yang mengajukan izin pertambangan terlebih dahulu, baru disusul oleh Muhammadiyah. 

Sejak beberapa bulan lalu, pemerintah menerbitkan Kontrak Usaha Pertambangan Pra-Batubara (PKP2B) WIUPK yang diprioritaskan kepada badan usaha milik organisasi multi agama.

Undang-undang ini tertuang dalam Undang-undang Pemerintah (PP) no. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pemerintah No. 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Industri Pertambangan dan Batubara. 4 tantangan manajemen pertambangan

Sementara itu, Ekonom berpengaruh Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengingatkan empat tantangan atau ancaman yang dihadapi ormas dalam mengurus izin pertambangan.

Tantangan pertama adalah keseimbangan antara biaya dan pendapatan. Banyak organisasi menghadapi biaya yang harus dibayar, namun biaya ekonomi, sosial dan lingkungan mungkin tidak signifikan.  

Kedua, aktivitas pertambangan dinilai sangat merugikan lingkungan dan berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat yang terkena dampak aktivitas tersebut. 

Ketiga, manfaat ekonominya tidak sama karena pertambangan menarik minat kontraktor. Dengan menggunakan sistem bagi hasil, Fahmy mengatakan kontraktor mendapat bagian lebih besar karena memiliki peralatan dan teknologi yang dibutuhkan. 

Keempat, organisasi masyarakat sipil mempunyai peluang untuk berkomunikasi dengan masyarakat adat atau pemilik tanah yang terkena dampak aktivitas pertambangan karena mereka memiliki WIUPK. 

“Kalau dihitung-hitung akan lebih mahal, dari sisi agama yang buruk. Saat ini manfaat yang diterima tidak besar,” jelasnya saat ditemui Bisnis, dikutip Minggu (30/7/2024). 

Dokter jebolan University of Newcastle, Australia ini mengenang, izin pertambangan yang dikeluarkan PP No. 25/2024 adalah tambang yang sudah ada.

Menurut dia, cadangan yang ada saat ini dari PKP2B sebelumnya tidak cukup. Tidak disebutkan, jelas Fahmy, pemberian WIUPK kepada ormas hanya berlaku untuk jangka waktu lima tahun berdasarkan pasal 83A ayat (6) PP No.25/2004.

“Lima tahun di dunia pertambangan, tidak ada yang seperti ini. Makanya menurut saya buruk,” ujarnya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel