Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan 22 dari 97 perusahaan P2P lending dengan TWP90 di atas 5% per September 2024. Jumlah tersebut setara dengan 22,68% pemain. Meski secara numerik, kredit macet Pinjol relatif menurun yakni menjadi 2,38 persen dari 2,82 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Terkait hal tersebut, Ekonom sekaligus Direktur Digital Center of Economic Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai ada tiga hal yang mempengaruhi banyaknya pengurus yang masih bergelut dengan permasalahan kredit macet.
Pertama, credit scoring yang digunakan tidak bisa mencerminkan kemampuan membayar peminjam yang sebenarnya, kata Huda kepada Bisnis, baru-baru ini (11 Juni 2024).
Hingga saat ini, kata Huda, pada sektor manufaktur pun penghitungan angka kredit masih menggunakan data lain. Oleh karena itu, kami berharap integrasi sistem layanan informasi keuangan (SLIK) OJK dengan fintech lending P2P dapat segera dilakukan. Ini merupakan strategi menyaring debitur macet.
Kedua, kata Huda, minimnya pilihan asuransi kredit bagi sektor manufaktur juga menjadi salah satu faktornya. Padahal, saat ini sebagian besar peminjam adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena jumlah maksimal yang ditawarkan adalah Rp 2 miliar.
“Harus ada pilihan asuransi kredit dan itu harus dijadikan salah satu nilai dalam credit scoring dan ditampilkan di halaman pemberi pinjaman sehingga peminjam bisa mengetahui apakah peminjam memiliki asuransi atau tidak,” ujarnya.
Ketiga, Huda melihat sektor produk memiliki risiko kredit macet yang lebih tinggi. Ia mencatat, data kredit macet badan usaha juga meningkat dan totalnya melebihi 5%. Sementara itu, kredit macet individu mencapai 2%.
Artinya sektor produk memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan sektor konsumen. “Itulah sebabnya platform P2P Lending lebih memilih fokus pada segmen konsumer serta memiliki pangsa pasar yang lebih besar di segmen konsumer,” ujarnya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel