Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) menyerukan penyederhanaan pengurusan izin dan perolehan aset untuk pengembangan industri migas guna meningkatkan produksi. 

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi investor saat ini adalah sistem yang kompleks. Selain pemeriksaan dari SKK Migas dan Dirjen Migas serta ESDM, perseroan juga perlu ke Kementerian Perdagangan untuk membeli suku cadang. 

Sebenarnya kalau produk baja harus ke Kementerian Perdagangan, pertanyaannya bisa lewat SKK Migas saja? Supply Chain & National Capacity Summit 2024, Kamis (15/8/2024). 

Bahkan, Marjolijn yang biasa disapa Meti mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan eksplorasi dan penemuan sektor-sektor baru yang berpotensi besar di dalam negeri. 

Artinya, akan ada lebih banyak proyek pembangunan sektoral di samping proyek-proyek pembangunan sektoral yang sudah ada, ujarnya. 

Sayangnya proyek-proyek tersebut terhenti sehingga peningkatan produksi migas tidak pernah tercapai. Menurut Meti, Indonesia harus melakukan perubahan dengan strategi yang jelas untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BCF gas pada tahun 2030.

“Kalau saya proyek tidak tepat waktu, proyek harus dipercepat, bagaimana kita bisa membuat daerah kita menarik. Kalau kita hanya memikirkan bagaimana kita akan menyelesaikannya sesuai tenggat waktu, pasti ada cara untuk mempercepat proyek, tapi itu mudah, kita bersedia melakukan hal-hal yang tidak ada di wilayah itu secara cuma-cuma,” jelasnya. 

Untuk itu, seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, investor, dan industri pendukung dapat memberikan keberhasilan tanpa batas untuk menciptakan percepatan. 

Dapat dilihat bahwa sudah banyak keputusan percepatan yang diambil oleh pemerintah dan pelaku usaha, namun motivasi yang ada dinilai masih kurang. Industri migas dikatakan membutuhkan strategi yang lebih koheren.

“Apa yang kita takutkan jika kita membuat lebih banyak kesamaan? Oh, risikonya, hasil audit akan lebih banyak, ya, kita hadapi bersama, ​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​dia mengatakannya seperti ini. 

Lebih lanjut, Meti menilai negara-negara tetangga sudah berani mengambil tindakan terhadap jenis kontrak jangka panjang yang akan digunakan oleh industri migas dan risikonya ditanggung oleh pemerintah. 

“Itu jawabannya? Saya tidak tahu, tapi sebagian risiko itu harusnya ditanggung pemerintah, investor tidak akan nyaman dengan itu,” imbuhnya. 

Meski demikian, masih ada kelompok yang menilai pencapaian baru tersebut tidak sesuai aturan. Ia menegaskan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut B. Pandjaitan yang memberi lampu hijau terhadap perubahan undang-undang yang ada saat ini untuk memudahkan akses investasi di industri migas.

Misalnya, Meti menyoroti daftar induk atau sistem manajemen inventaris (RIB) untuk membuat proyek lebih terorganisir. Berdasarkan aturan saat ini, pelaku usaha dapat mendatangkan barang sensitif yang tidak tersedia di dalam negeri dan tidak dikenakan PPN.

“Saya tahu itu harus dicermati, tidak bisa begitu saja, masalahnya pekerjaan tidak berjalan dengan baik, tapi saya kira kita bisa melakukannya dengan mudah asalkan ada keinginan,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia melihat pentingnya fleksibilitas regulasi yang dapat beradaptasi dengan permasalahan terkini di sektor industri. 

“Sekali lagi ubah aturannya, bagi saya banyak hal yang kalau kita mau berubah dan keluar dari zona nyaman kita bisa lebih baik lagi,” tutupnya. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Canal WA