Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto bisa membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.
Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1% – dari 11% menjadi 12% – ditentukan oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui UU HPP mengatakan, pemerintah akan berupaya melaksanakan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% meski mendapat tentangan dari banyak kalangan.
“Kita harus bersiap untuk melaksanakannya [kenaikan PPN menjadi 12%], tapi dengan penjelasan yang baik,” kata Sri Mulyani saat rapat komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
Namun nyatanya, UU HPP menambahkan klausul yang memperbolehkan penangguhan kenaikan PPN. Dalam pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif pajak sebesar 12% dapat diubah menjadi maksimal 5% pada awal tahun 2025 dan maksimal 15%.
Prosesnya dijelaskan dalam pasal 4 kebijakan HPP:
Perubahan atas tambahan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Undang-Undang setelah Pemerintah mengirimkan kepada Majelis Nasional Republik Indonesia untuk dirujuk dan dilihat baik untuk perencanaan pendapatan dan pengeluaran. .
Artinya, PPN sebesar 12% itu bisa dihapuskan dengan diterbitkannya Kebijakan Umum (PP) oleh Prabowo setelah dikirimkan ke DPR untuk mendapat persetujuan dalam penyusunan RAPBN.
Selain itu, Ketua Lembaga Keuangan DPR Said Abdullah mengungkapkan penyusunan rencana perpajakan tahun depan masih berbasis PPN 11% sesuai APBN 2025.
Pendapatan negara [pajak + bea dan bea masuk] Rp 2,490 triliun, termasuk PPN 12%,” ujarnya usai Rapat DPR, Kamis (19/9/2024).
Direktur Pusat Kebijakan APBN, Pusat Kebijakan Keuangan, Kementerian Keuangan Wahyu Utomo tak membenarkan pemerintah tidak menggunakan PPN 12% dalam perhitungan APBN 2025.
Ia juga mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan banyak faktor ekonomi sebelum menerapkan aturan tersebut.
“Termasuk dalam UU HPP adalah perubahan tarif PPN menjadi 12%, namun dalam pelaksanaannya mempengaruhi iklim sosial, termasuk pembelian, usaha, dan mungkin waktu,” ujarnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/). 9/2024).
Kritik terhadap kenaikan PPN
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengatakan kenaikan PPN dapat menambah beban keluarga miskin.
Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook 2025’, LPEM UI menunjukkan bahwa antara tahun 201-2019 dengan tarif pajak sebesar 10%, rata-rata PPN untuk 20% rumah tangga termiskin adalah sekitar 3,93%.
Sementara beban PPN mencapai 5,04% bagi 20% keluarga terkaya.
Sementara itu, setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, terjadi peningkatan PPN di seluruh rumah tangga.
“Pada tahun 2022 hingga 2023 rata-rata PPN 20% termiskin sebesar 4,79%, sedangkan 20% teratas menjadi 5,64% bagi terkaya,” kata LPEM FEB UI, Sabtu (16/11). / 2024).
Namun LPEM FEB UI menyebutkan kenaikan harga pada tahun 2022 sebesar 10% hingga 11% akan berdampak lebih besar terhadap masyarakat miskin.
Peningkatan pendapatan menyebabkan peningkatan pembelian sekitar 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sementara pertumbuhan 20% keluarga terkaya lebih kecil yakni 0,71 persen.
Pengusaha juga mengkritik isu kenaikan biaya izin. Asosiasi Pekerja Indonesia (Apindo) meminta pemerintah memantau penerapan undang-undang ini karena situasi perekonomian.
Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani menjelaskan, terdapat kesenjangan antara daya beli masyarakat yang menurun dan jutaan masyarakat kelas menengah yang menyusut. Oleh karena itu, Ajib mengatakan sebaiknya pemerintah menempuh cara lain jika ingin memperoleh pendapatan lebih.
Ada dua aturan yang bisa dipatuhi, menurutnya. Pertama, pemerintah dapat menurunkan batasan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PTKP) untuk menjaga daya beli masyarakat.
Sesuai PMK No. 101/2016, biaya PTKP sebesar 54 juta dolar setahun atau setara dengan pendapatan 4,5 juta dolar sebulan.
“Pemerintah bisa menaikkan misalnya PTKP sebesar 100 juta. Ini bisa menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah. pendapatan”, kata Ajib dalam sambutannya, Senin (12/8/2024).
Kedua, pemerintah fokus pada pentingnya Nilai Pajak atau Nilai Pajak dengan PPN (DTP) atas kegiatan-kegiatan yang menjadi penggerak banyak kegiatan perekonomian.
Dia mencontohkan bisnis real estate yang bisnisnya mendukung pertanian, perikanan, dan peternakan di lembah.
“Namun demikian, hal ini harus diperhitungkan dengan baik dalam banyak kasus sehingga tarif pajak ini, di satu sisi, tetap memberikan insentif bagi sektor swasta untuk bekerja secara efektif, dan di sisi lain, harus memberikan hasil yang diperlukan bagi kinerja negara. pendapatan,” kata Ajib.
Tonton berita dan berita lainnya di Google News dan WA Channel