Bisnis.com, Jakarta – Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) membeberkan berbagai dampak pengumuman PP kesehatan terbaru yang dapat berdampak pada industri pengolahan makanan dan minuman hingga berujung pada PHK massal.

Sementara itu, pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. Peraturan 17 Tahun 2023 tentang Implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengurangi risiko penyakit tidak menular (PTM) akibat konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).

Gapmmi Adhi S. Lukman, General Manager, mengatakan terdapat berbagai hambatan terhadap pangan olahan yang mengandung gula dan garam berlebih, antara lain cukai, larangan iklan, promosi dan sponsorship pada waktu, tempat, dan kelompok sasaran tertentu. dan gemuk.

“Penetapan batas maksimal gula, garam, dan lemak pada pangan olahan tentu tidak akan efektif dalam menurunkan angka penyakit tidak menular karena gula, garam, dan lemak yang dikonsumsi masyarakat hanya sebagian kecil dari kontribusi pangan olahan,” kata Adi, Kamis (Dikatakan dalam siaran pers 22 Agustus 2024).

Adi mengatakan, pengenaan tarif cukai dan pelarangan iklan dan promosi akan mengurangi ruang lingkup pelaku usaha pangan olahan dalam menjalankan usahanya dan mendekati konsumen sebagai target pasar produknya.

Padahal, industri makanan dan minuman merupakan salah satu industri strategis penopang perekonomian nasional. Pada tahun 2023, produk domestik bruto (PDB) industri nonmigas memberikan kontribusi sebesar 39,10% dan 6,55% terhadap produk nasional bruto. . produk masing-masing.

Selain itu, dengan melambatnya laju pertumbuhan industri makanan dan minuman saat ini, industri makanan dan minuman akan semakin sulit berkembang, kehilangan daya saing, dan menghadapi risiko kebangkrutan, berkurangnya lapangan kerja, atau berskala besar. PHK.

Terkait hal itu, pihaknya sangat mendukung tujuan baik pemerintah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dengan mengurangi penyakit tidak menular.

Namun, Gapmmi menilai peraturan pemerintah ini seolah-olah membebankan seluruh permasalahan penyakit tidak menular (PTM) kepada produsen makanan olahan.

Ia mengatakan, banyak faktor risiko PTM di antaranya gaya hidup, aktivitas fisik yang kurang, asupan cairan tubuh yang tidak mencukupi, manajemen stres, dan kebiasaan makan sehari-hari yang tidak seimbang.

“Masalah kesehatan tidak disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan jenis pangan tertentu, sehingga tidak hanya disebabkan oleh konsumsi pangan olahan,” ujarnya.

Adhi mencontohkan penelitian IPB tahun 2019 yang menyebutkan makanan olahan hanya menyumbang sebagian kecil konsumsi gula, garam, dan lemak masyarakat.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel