Bisnis.com, JAKARTA – Bahan bakar nabati (BBN) bioetanol diperkirakan memiliki nilai pasar jumbo sebesar US$ 114,7 miliar pada tahun 2028. Dengan demikian, Indonesia berpeluang mengembangkan bioetanol.

Melihat data Statista, nilai pasar bioetanol dunia diproyeksikan mencapai 83,4 miliar dolar pada tahun 2023 atau sekitar Rp 1.292,7 triliun (dengan asumsi nilai tukar 15.500 rupiah per dolar AS). Nilai tersebut diperkirakan meningkat menjadi US$ 114,7 miliar atau sekitar Rp 1,777 triliun pada tahun 2028.

“Diperkirakan nilai pasar bioetanol akan mencapai 114,7 miliar dolar AS pada tahun 2028, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan atau CAGR sebesar 6,6%,” tulis riset Statista yang dikutip Rabu (4/9/2024).

Perlu diketahui, bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang berasal dari tumbuhan, seperti tebu atau jagung, yang dapat dicampur dengan bensin pada kendaraan dengan konsentrasi 10%. Sejumlah negara juga telah mengembangkan bioetanol, seperti Amerika Serikat, Brazil, dan Eropa.

Sedangkan Amerika Serikat (AS) merupakan produsen utama bahan bakar etanol di dunia. Pada tahun 2023, Amerika Serikat diperkirakan akan memproduksi 15,6 miliar liter bioetanol.

Selain itu, Brazil merupakan produsen bioetanol kedua di dunia dengan produksi 8,3 miliar liter pada tahun yang sama. Tingkat penggunaan bahan bakar etanol di Brasil lebih tinggi dibandingkan negara lain, dengan kendaraan berbahan bakar fleksibel menjadi jenis kendaraan ringan yang paling umum.

Masing-masing negara penghasil bioetanol terbesar di dunia adalah Uni Eropa dengan 1,44 miliar liter, India dengan 1,43 miliar liter, dan Tiongkok dengan 950 juta liter. Peluang RI Mengembangkan Bioetanol

Di Indonesia, meski menghadapi tantangan dalam pengembangannya, bioetanol masih memiliki siklus positif yang dapat memberikan manfaat bagi petani dan memajukan industri biofuel.

Direktur IMATAP Direktorat Jenderal ILMATE Kementerian Perekonomian Dodiet Prasetyo mengatakan Indonesia memang memiliki potensi untuk mengembangkan bioetanol. 

“Alasan yang pertama adalah etanol tidak membutuhkan infrastruktur baru, bisa tetap menggunakan infrastruktur yang sudah ada. Kemudian yang kedua adalah kisah sukses biodiesel secara bertahap bisa dijadikan acuan,” kata Dodiet dalam Indonesia Factory Hub Business Siniar. , kata Rabu (4/9/2024).

Tak hanya itu, menurutnya pengembangan bioetanol dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi petani. Pasalnya, bioetanol merupakan biofuel yang dihasilkan dari bahan organik seperti jagung, tebu, dan bahan baku selulosa lainnya.

Di sisi lain, Direktur Konservasi Energi Ditjen EBKE Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi, hingga saat ini yang dijual adalah Pertamax Green 95, bahan bakar campuran bioetanol 5%. 75. SPBU di Jakarta dan Surabaya.

Selain itu, kata Hendra, penerapan penggunaan campuran bioetanol 5% pada bensin atau dikenal dengan nama E5 akan ditingkatkan secara bertahap menjadi 10% mulai tahun 2029. 

Namun kemajuan pengembangan bioetanol relatif lambat, karena jika mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, Indonesia harus menggunakan campuran etanol 20% mulai tahun 2025. 

“Tadinya kita revisi menjadi 10% karena banyak tantangannya, terutama dari segi free stock karena sebagian besar bahan baku etanol masih berasal dari tanaman pangan,” kata Hendra dalam podcast Business Indonesia Factory Hub. dikutip. Selasa (3/9/2024).

Perlu dicatat, salah satu kritik utama terhadap bioetanol adalah penggunaan tanaman pangan untuk produksi bahan bakar. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan harga pangan dan berkurangnya ketersediaan pangan, terutama di negara-negara berkembang.

“Tentunya kita perlu menyusun peta jalan, sistem pemasaran bioetanol dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan penyiapan infrastruktur dalam negeri,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, perlu adanya kebijakan untuk mempercepat industri bioetanol. Sebab, dari 13 industri bioetanol yang ada, hanya dua yang memenuhi kriteria kualitas bahan bakar, satu lagi food grade.

Selain itu, pengembangan bioetanol juga menghadapi kendala dari segi harga dan pajak yang masih diterapkan pada etanol yang merupakan bahan baku bioetanol.

Sedangkan bea masuk etanol diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan n. 160 Tahun 2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Mengandung Etil Alkohol.

Berdasarkan aturan tersebut, etanol yang tidak diklasifikasikan dengan kualitas apa pun akan dikenakan cukai sebesar Rp 20.000 per liter untuk produksi dalam dan luar negeri.

Tantangan lainnya adalah pengelolaan lahan berkelanjutan, efisiensi energi dari produksi bioetanol, dan pembangunan infrastruktur yang memerlukan investasi besar.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel