Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah merevisi undang-undang penyiaran mendapat tentangan, terutama di bidang penyiaran jurnalisme investigatif.

Dalam rancangan UU Penyiaran yang baru dijelaskan, ada enam pasal yang disisipkan di antara Pasal 50 dan Pasal 51, yaitu Pasal 50A, 50B, 50C, 50D, 50E, dan 50F.

Pasal yang merujuk pada larangan transmisi eksklusif jurnalisme investigatif telah dimasukkan dalam ayat 50B. (2) menyala. C. Aturan tersebut menyatakan bahwa, selain pedoman mengenai isi siaran dan kesesuaian isi siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif.

SIS sendiri merupakan standar isi pidato dan audio yang mencakup batasan, larangan, kewajiban dan peraturan penyiaran, serta pedoman penyiaran (P3) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

RUU tersebut menjelaskan bahwa kebebasan ruang publik untuk melakukan penyiaran harus dijamin dengan kebijakan dalam bentuk undang-undang. Karena penyiaran merupakan ranah publik atau dengan kata lain dunia audiovisual merupakan ruang opini publik secara demokratis dan rasional.

“Pengaturan kegiatan penyiaran harus selalu berlandaskan prinsip keberagaman isi dan keberagaman kepemilikan,” demikian keterangan hukum radio publik yang dikutip, Senin (13 Mei 2024).

Menanggapi hal tersebut, pengamat media Ignatius Haryanto berpendapat pasal 50B. (2) menyala. c ada yang aneh dengan tagihan pengirimannya. Sebab, masih terlalu sedikit media massa yang mempunyai kemampuan melakukan jurnalisme investigatif.

“Jika ada aturan yang secara khusus melarang penyiaran jurnalisme investigatif, ini sangat aneh bagi saya dan mungkin tidak mencerminkan bahwa pembuat konten memahami Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa pers diakui sebagai instrumen. kontrol sosial untuk pemerintah,” kata Ignatius kepada Bisnis, Senin (13 Mei 2024).

Menurutnya, masyarakat sangat terbantu dengan jurnalisme investigatif yang bisa mengungkap hal-hal yang merugikan publik.

“Kalaupun ada peraturan seperti itu [larangan hak eksklusif jurnalisme investigatif], itu sangat aneh dan harus ditolak,” katanya. Jawaban seorang reporter televisi

Persatuan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyayangkan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, yang terkesan dipersiapkan secara asal-asalan dan dapat mengancam kebebasan pers.

IJTI menilai Pasal 50 B lit c menimbulkan banyak penafsiran dan membingungkan. Padahal, selama karya tersebut sesuai dengan kode etik jurnalistik, tidak ada yang bisa melarang jurnalisme investigatif ditayangkan di televisi.

“Pertanyaan besarnya adalah mengapa RUU ini melarang televisi menyiarkan jurnalisme investigatif secara eksklusif?” tulis IJTI dalam pertanyaan resmi, Senin (13 Mei 2024).

Kedua, Pasal 50 B. 2 menyala. k, isi siaran dan isi siaran yang memuat berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik yang dianggap multitafsir.

Lebih lanjut mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI melihat pasal-pasal yang multitafsir dan membingungkan serta dapat menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis/pers.

“Kami sepakat sistem ketatanegaraan menggunakan demokrasi dan pers adalah pilar keempat demokrasi. Pers mempunyai tanggung jawab sebagai pengawas sosial agar proses bernegara transparan, bertanggung jawab dan sepenuhnya melaksanakan hak-hak masyarakat,” jelasnya.

Ketiga, Pasal 8A, lit. q dan Pasal 42. 2 yang mengatur bahwa perbedaan pendapat terkait kegiatan penyiaran diselesaikan di KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini dikatakan perlu direvisi karena berkaitan dengan UU No. Keputusan 40/1999 tentang pers yang mengatur perselisihan jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers.

IJTI juga menilai penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI dapat mengganggu aktivitas profesional jurnalistik, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keputusan politik DPR.

Menanggapi hal tersebut, IJTI menolak dan meminta penghapusan beberapa pasal dalam rancangan revisi undang-undang penyiaran yang dapat mengancam kebebasan pers.

Selanjutnya, meminta DPR mengkaji rancangan revisi UU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak, termasuk organisasi jurnalis dan masyarakat.

Selain itu, semua pihak diimbau untuk memonitor reformasi UU Penyiaran Publik agar tidak menjadi alat yang mengekang kebebasan media dan kreativitas individu di berbagai platform. Transfer ke DPR

Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Usman Kansong belum bisa memberikan tanggapan terhadap RUU penyiaran tersebut. Menurut dia, revisi UU audiovisual merupakan lingkup DPR RI, karena revisi tersebut atas inisiatif DPR. Tanya ke DPR, kata Usman.

Sekadar informasi, pemerintah bersama DPR berniat merevisi UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Rencana ini sudah memasuki tahap finalisasi proyek amandemen undang-undang usulan DPR yang dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024. Demokrasi berantakan

Sementara itu, Presiden terpilih Prabowo Subianto mengatakan dalam wawancara dengan Al-Jazeera bahwa demokrasi Indonesia berantakan dan melelahkan. Meski demikian, Prabowo menjelaskan sistem demokrasi adalah demi kepentingan rakyat Indonesia.

“Demokrasi itu berantakan, demokrasi itu melelahkan, tapi apakah ini satu-satunya sistem politik yang terbaik, apa alternatifnya?” kata Prabowo dalam wawancara dengan Al Jazeera dikutip dari YouTube Al Jazeera berbahasa Inggris, Senin (13/05/2024).

Prabowo mengatakan masyarakat Indonesia menginginkan sistem demokrasi yang kekuasaan politiknya berasal dari rakyat. “Kita maju, kita memerintah, kita menyelenggarakan pemerintahan dengan memperhatikan kepentingan rakyat, dan rakyat yang menentukan,” tuturnya.

Menteri Pertahanan (Menhan) juga menyatakan istilah demokrasi Indonesia sedang terpuruk adalah suatu kesalahpahaman. Sebab, Indonesia sudah beberapa kali berganti pemerintahan.

“Tentu, apa maksudnya kegagalan? Sudah berapa tahun terjadi pergantian pemerintahan secara damai? Berapa banyak pemerintahan yang berganti? Berapa banyak bupati yang kita punya? Kita punya demokrasi yang hidup dan dinamis,” ujarnya.

Namun, diakui Prabowo, sistem demokrasi saat ini kurang memuaskan. “Apakah ada korupsi? Ya. Ini masalah kita dan harus kita atasi,” imbuhnya.

Selama empat periode menjabat presiden, Prabowo mengaku partai demokrasi sudah kehabisan tenaga.

“Melelahkan, tapi itu yang diinginkan rakyat, rakyat yang memilih. Tapi menurut saya demokrasi ada di mana-mana, tapi Indonesia paling berisiko karena korupsi dan konsentrasi kekayaan,” ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel