Bisnis.com, JAKARTA – Piringan Hitam Record Store (PHR) merupakan piringan hitam atau vinyl press pertama di Indonesia 50 tahun lalu.
M. Taufikurrahman, pendiri PHR Pressing dan pemilik Elevation Records, mengatakan ide pabrik piringan hitam bermula dari kecintaan dan kolaborasi dengan musik-musik yang dirilis secara fisik, yang seringkali dianggap ketinggalan jaman.
Dalam sejarah musik dan seni, piringan hitam diasosiasikan dengan glamor dan masyarakat kelas atas. Sejak tahun 1950-an, hanya kelompok tertentu, seperti pengusaha kaya atau orang yang sering bepergian ke luar negeri, yang mampu mengoleksi piringan hitam.
Rilisan musik fisik juga sedang meningkat. Pada tahun 1980-an, compact disc atau CD mulai populer di berbagai lapisan masyarakat. Produknya murah, jadi harga jualnya juga murah. CD laris manis di pasaran hingga munculnya Internet dan streaming musik digital pada tahun 2000-an. Tanpa diduga, awal tahun 2010-an terjadi revolusi dalam popularitas piringan hitam.
“Dulu orang tidak bisa mendengarkan musik secara fisik. CD baru saja dirilis, dan kaset tidak lagi penting. Opsi terakhir adalah vinil, kata Taufikurrahman di acara Santuj di Wisma Bisnis, Indonesia, Kamis (15/06/2024). Sebuah hobi seumur hidup bagi ekosistem musisi tanah air
Anohan Mantiri, CEO PHR Pressing sekaligus pendiri Piringan Hitam Recordstore, menyadari banyaknya peminat piringan hitam dari berbagai kalangan, sehingga ia mulai menjualnya di Kaskus dan media sosial Facebook.
Pada tahun 2012, Anohan membuka Recordstore, toko kaset hitam di kawasan Senayan Jakarta. Beberapa tahun kemudian, pandemi terjadi. “Toko tutup, mal tutup. Kami terpaksa berjualan di media sosial. “Yang jelas keuntungannya besar sekali (saat pandemi).”
Pandemi menjadi katalis bagi kemitraan Anohan dan Taufikurrahman. Elevation Records dan Piringan Hitam Record Store merilis album vinyl Gila milik Senayan Gomblo.
Saat itu, minimnya pabrik percetakan atau pabrik piringan hitam mengharuskan kedua pengusaha tersebut mencetak album di luar negeri. Kolaborasi ini terus merangkul artis populer seperti Nadine Amiza, India dan Candra Darusman.
Ketika “jalur” pencetak album semakin panjang, Anohan dan Taufikurrahman memutuskan untuk membuka pabrik piringan hitam di Indonesia. Ini bukanlah keputusan yang mudah. Modal yang dibutuhkan sangat besar, harga mesin cetak plat sekitar Rp 8 miliar dan perawatannya sulit.
“Pabrik Vinyl Record Terakhir, Lokananta di Surakarta, 1974.” Susahnya mempertahankan pabrik piringan hitam,” kata Taufikurrahman.
Musisi semakin tertarik dengan piringan hitam. PHR Pressing merilis 15 album dalam bentuk vinyl di tahun pertama. Hingga Agustus 2024, label vinyl tersebut telah merilis sekitar 70 album. Streaming digital dengan LP
Anohan dan Taufikurrahman tak memungkiri kemudahan akses platform streaming digital. Namun, kata mereka, sulit untuk menghidupkan kembali “ekosistem” musisi, label rekaman, dan pihak lain dalam model bisnis musik digital.
“Musik adalah seni, membuat seni itu mahal. “Tetapi modal ventura saat ini tidak membantu artis (digital) memonetisasi musik mereka.”
Rekaman vinil adalah salah satu dari sedikit sumber pendapatan bagi musisi dan, lebih jauh lagi, bagi semua pihak yang terlibat. Selain melakukan tur dan menjual piringan hitam, mereka juga berkontribusi terhadap revitalisasi ekosistem uang musik Indonesia.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel