Bisnis.com, JAKARTA – Serikat Pekerja Nasional menyoroti terus berkurangnya jumlah pekerja akibat banyaknya PHK dan menurunnya daya beli masyarakat menjelang kiamat -79 di Indonesia.
Aktivis buruh Mirah Sumirat yang juga presiden Komite Perempuan Asia-Pasifik mengungkapkan jumlah pekerja semakin berkurang akibat PHK massal.
Data Kementerian Ketenagakerjaan periode Januari – Juni 2024 sebanyak 32.064, namun Mirah Sumirat meyakini data sebenarnya bisa dua kali lipat dari angka tersebut. Pasalnya, banyak perusahaan yang tidak mengungkapkan jumlah karyawan yang di-PHK kepada dinas tenaga kerja setempat.
Selain itu, kata dia, seringkali ada kesepakatan internal antara pengusaha dan pekerja untuk tidak melapor ke Kementerian Sumber Daya Manusia. Selain itu, banyak juga pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan.
Hal ini berdampak pada data yang digunakan Kementerian, karena Kementerian Ketenagakerjaan selalu menggunakan data BPJS Atvinnumæði berdasarkan klaim jaminan hari tua (JHT) pekerja di BPJS Atvinnu.
Mirah Sumirat mengatakan, sebagian besar dari mereka yang terkena PHK adalah para pengusaha kecil, misalnya menjadi pedagang kaki lima, ada yang menjadi driver online, melakukan berbagai pekerjaan dan lain-lain.
Hal ini diperkuat dengan jumlahnya yang terus bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan jumlah pekerja sektor informal di Indonesia mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir.
Pada bulan Januari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang (57,27% dari total penduduk Indonesia), namun pada bulan Januari 2024 meningkat menjadi 84,13 juta orang atau 59,17% dari total penduduk bekerja) yang berarti mereka mempunyai pendapatan luar biasa dan cenderung mendapatkan uang. miskin sulit memenuhi kebutuhan kesehatan.
Permasalahan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus, harus segera dicarikan jalan keluarnya, Mirah Sumirat juga berharap dengan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Bapak Prabowo Subianto maka permasalahan pekerja/buruh dan bangsa dapat terselesaikan untuk mencapai kesejahteraan dan kesejahteraan. kehidupan yang bermartabat sesuai amanat konstitusi UUD 45 dapat terwujud,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip, Rabu (14/8/2024).
Permasalahan lainnya terkait tergerusnya daya beli akibat kebijakan upah rendah mulai tahun 2015, yaitu dengan adanya PP no. 78/2015 tentang Pengupahan, mengurangi fungsi dewan pengupahan dan mengurangi sebagian penghitungan pengupahan, dalam hal ini menghapuskan Departemen Martabat Kehidupan (KHL).
Selanjutnya, diterbitkan undang-undang komprehensif tentang penciptaan lapangan kerja yang menegaskan kembali PP 78/2015 tentang upah minimum.
Lanjut Mirah, penyebab lainnya adalah kenaikan harga bahan pangan dan barang kebutuhan pokok, hal ini berdampak besar terhadap menurunnya daya beli masyarakat, harga pangan dan kebutuhan pokok yang tidak terjangkau pada tahun 2021 rata-rata meningkat sekitar 2,3 persen. 20%, dan sampai saat ini belum terkendali.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel