Bisnis.com, Jakarta – Asosiasi Produsen Cengkih Indonesia (APCI) dan Asosiasi Produsen Tembakau Indonesia (APTI) semakin mengkhawatirkan kebijakan yang menekan industri tembakau (IHT) hingga mengganggu ekosistem hilir dan hulu.

Data APTI menunjukkan saat ini terdapat 14 sentra tembakau di Indonesia yang menawarkan lebih dari 100 jenis tembakau. Petani tembakau dapat memproduksi sedikitnya 200.000 ton tembakau, 70% di antaranya ditujukan untuk konsumsi IHT.​

Dharam Said, Ketua Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), mengatakan 99,96% dari total wilayah sentra tembakau merupakan perkebunan rakyat, dan 97% produktivitas petani cengkeh diserap seluruhnya oleh industri rokok kretek.​

“IHT merupakan lokomotif yang memakan bahan baku, tenaga kerja, dan pedagang. Secara keseluruhan, terganggunya salah satu rantai ekosistem IHT (baik hulu maupun hilir) akan berdampak pada rantai ekosistem lainnya,” kata Dahlan, Selasa (27/08). /2024) dikutip.​

Dalam konteks ini, ia menyoroti kebijakan pemerintah yang melarang dan membatasi peredaran rokok dan produk tembakau lainnya di pasaran berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1. 28 Tahun 2024 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Promosi Kesehatan Sebagai Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1.​

Misalnya dalam seni. 21 Pasal 429-453 “Perlindungan Bahan Adiktif” mengatur antara lain larangan penggunaan bahan tambahan, batasan kandungan tar dan nikotin pada setiap batang rokok, larangan penjualan eceran atau pengemasan, dan larangan penjualan dalam batas-batas tertentu. Penjualan produk tembakau kepada orang di bawah usia 21 tahun dilarang dalam jarak 200 meter dari lembaga pendidikan dan taman bermain anak.

Peraturan ini diyakini akan memporak-porandakan industri hilir tembakau, sehingga meminimalisir asupan cengkeh oleh petani. Selain itu, cengkeh juga merupakan bahan baku utama produksi rokok kretek. Tak heran jika para petani anyelir kini sangat bergantung pada kelangsungan IHT.​

Terganggunya IHT akan berdampak pada menurunnya produksi rokok dan pada akhirnya berdampak pada petani cengkeh karena akan menurunkan serapan industri yang tentunya akan berdampak pada turunnya harga cengkeh.​

“Pada akhirnya, hal ini akan mengurangi pendapatan petani. Dampaknya akan bertahan lama. Tampaknya tidak ada sektor industri lain yang memberikan kontribusi sebesar sektor tembakau terhadap kas negara.”

Dahlan mengenang, cengkeh merupakan salah satu subsistem ekosistem tembakau Tanah Air. Selain 2,5 juta petani tembakau, petani cengkeh berada pada posisi teratas dalam rantai pasokan, diikuti oleh sekitar 600.000 pekerja pabrik, pedagang, dan usaha kecil dan menengah.​

Lebih lanjut, Sekjen DPP APTI K. Muhdi mengatakan, situasi di lapangan menunjukkan jutaan petani saat ini optimistis bersiap memasuki musim panen tembakau.​

Sebagai bagian dari ekosistem hulu tembakau yang juga berperan strategis dalam perekonomian Indonesia, setidaknya 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta produsen cengkeh terkena dampak peraturan ini.​

Saat ini, petani tembakau sebenarnya perlu berupaya meningkatkan produktivitas, seperti bantuan atau pelatihan pertanian, bantuan pupuk setelah penghapusan subsidi, alat untuk mendukung mekanisasi pertanian, dan pengaturan proses perdagangan untuk mendukung kesejahteraan petani.

Pemerintah harus melindungi penghidupan petani dan mendukung pembangunan dan kesejahteraan mereka melalui peraturan yang adil dan berkelanjutan, sehingga menjadi payung pelindung bagi komoditas tembakau dan ekosistemnya.​

“Petani akan memastikan mereka mematuhi peraturan dan tidak segan-segan turun ke jalan jika peraturan menteri kesehatan mengancam industri tembakau,” tutupnya.​

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel