Bisnis.com, Jakarta – Para ekonom menilai intensitas perang dagang antara Amerika Serikat dan China berpotensi meningkat seiring terpilihnya Donald Trump untuk kedua kalinya sebagai Presiden Amerika

Meski kedua negara berkonflik, Indonesia berpeluang menangkap relokasi perusahaan di dalam dan sekitar China yang terdampak perang dagang.

Ekonom Institute for Economic Development and Finance (Indef) Pusat Perindustrian, Perdagangan, dan Investasi Ahmad Heri Firdaus mengatakan, ada dua industri yakni tekstil dan produk tekstil (TPT) serta logam dasar yang memiliki potensi paling besar masuk ke Tanah Air. .

“Pabrik tekstil Vietnam berpeluang pindah ke Indonesia. Lalu industri logam dasar dan turunannya [di bawah]. Ini produk-produk yang memang dilarang oleh Amerika, salah satunya baja. Jadi Indonesia juga bisa memanfaatkannya. peluang itu,” ujarnya Senin (11/11/2024).

Meski industri TPT dalam kondisi “babak belur”, Heri melihat industri TPT asing masih bisa masuk, namun terutama yang berorientasi ekspor agar tidak mengganggu industri dalam negeri.

Harapan investasi dari gerakan ini tidak dapat segera terwujud. Heri mengapresiasi saat ini industri nasional masih menghadapi sejumlah permasalahan internal.

Mulai dari daya saing, lahan, biaya energi, listrik, upah buruh, hingga biaya logistik. Sementara itu, perusahaan multinasional kebanyakan mencari negara yang biayanya relatif kompetitif. 

“Jika kita ingin menangkap peluang, maka biaya terkait infrastruktur harus diatasi. Kita harus bisa menyiapkan semacam paket kebijakan untuk menangkapnya,” ujarnya. Membaca peluang pasar

Menurut Ahmad, perusahaan besar juga mempertimbangkan peluang pasar di negara tujuan relokasinya.

Salah satunya adalah dengan adanya perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Eropa dalam Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Melalui kebijakan ini, produk Indonesia bisa masuk ke Eropa tanpa bea masuk.

Tanpa perjanjian dagang tersebut, produk Indonesia yang masuk ke Eropa saat ini akan dikenakan tarif sebesar 16% hingga 20%.

Oleh karena itu, kesimpulan dari perundingan IEU-CEPA akan menjadi faktor penentu bagi perusahaan multinasional untuk memarkir pabriknya di Indonesia. Sayangnya, proses tersebut saat ini belum menemukan kejelasan, terutama terkait dengan kebijakan produk bebas deforestasi atau European Union on Deforestation-Free Regulation (EUDR). 

“IEU CEPA menjadi senjata untuk menarik investor asing. Terutama di sektor-sektor yang sudah siap seperti TPT,” lanjutnya.

Sebelumnya, isu IEU-CEPA dilontarkan 15 investor asal Taiwan –yang berencana memindahkan pabriknya ke Indonesia– saat bertemu dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.

Dimana para pengusaha tersebut telah memperoleh keuntungan dari investasi di Tiongkok dan Vietnam. Sedangkan Vietnam memiliki keunggulan dalam hal ekspor ke Eropa karena sudah memiliki Free Trade Agreement (FTA).

Berkaca dari “perang dagang” sebelumnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pada tahun 2019, Indonesia menerima relokasi dan diversifikasi investasi 58 perusahaan senilai 14,7 miliar dolar dari Amerika Serikat. Amerika Serikat, Eropa, dan Asia, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Namun demikian, Prabowo dalam Asta Cita-nya mendesak untuk meningkatkan daya saing dan iklim investasi di Indonesia, terutama pada sejumlah sektor prioritas seperti derivasi sumber daya alam, investasi berbasis riset dan inovasi, investasi berorientasi ekspor, serta investasi berorientasi ekspor. pendidikan dan kesehatan. sektor

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel