Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai industri TPT memerlukan kebijakan terpadu agar bisa bertahan di tengah banyaknya tantangan yang menghantui sektor ini. Hal ini juga sebagai respons atas maraknya kontroversi Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 baru-baru ini.
Kepala Sumber Daya Manusia Apindo, Bob Azam, mengatakan industri TPT kini memerlukan kebijakan untuk melindungi terhadap masuknya barang impor ke dalam negeri dan memperlancar akses bahan baku.
“Itu salah satu hal besarnya,” kata Bob kepada Bisnis, Selasa (09/07/2024).
Selain itu, Bob berpendapat perlunya revitalisasi teknik dan industri, serta digitalisasi agar industri tetap efisien dan produktif.
Sekadar informasi, sejumlah pihak meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengkaji ulang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang kebijakan dan ketentuan impor.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI) menyebut putusan tersebut menjadi salah satu penyebab penutupan sejumlah pabrik hingga berujung pada PHK atau PHK massal.
Meski PHK sudah terjadi sejak akhir tahun 2022, Ketua Umum APSyFI Redma Geetha Weeravastha mengatakan adanya aturan tersebut mempercepat penutupan pabrik.
Bahkan, pasca terbitnya Kepmendag 8, PHK dan penutupan pabrik semakin sering terjadi dalam 2 bulan terakhir, kata Redma kepada Bisnis, Rabu (3/7/2024).
Pasca PHK massal pada akhir tahun 2022 dan berlanjut pada tahun 2023, Redma mengatakan pemerintah belum mengambil tindakan apa pun untuk mencegah PHK.
Dia mengatakan pemerintah baru mengambil tindakan pada Oktober 2023 setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan kementerian terkait untuk mengendalikan impor.
Kemudian, pada Desember 2023, Kementerian Perdagangan menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 36 Tahun 2023 yang berlaku efektif pada tahun 2024. Hanya berselang dua bulan, pemerintah memberikan kemudahan impor melalui Keputusan Menteri Nomor 8 Tahun 2024.
“Hal ini menunjukkan sekali lagi bahwa pemerintah lebih mendukung importir dibandingkan produsen dalam negeri, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan Permendag 8 menjadi penyebab terjadinya PHK dan penutupan pabrik,” jelasnya.
Di sisi lain, insentif yang ada saat ini dinilai belum cukup untuk mendukung produktivitas produsen. Yang bisa dilakukan pemerintah, kata dia, adalah menutup selisih harga produk lokal dan impor.
“Jadi kita bisa menjual dengan harga yang sama dengan barang impor, tapi selisihnya akan dibayar pemerintah sebagai insentif,” usulnya.
Asosiasi juga berharap pemerintah memberikan insentif harga gas sebesar $4. US/MBTU atau sama dengan harga gas di China. Namun, dia belum yakin pemerintah punya dana untuk menggairahkan badan usaha.
Jika pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memberikan stimulus kepada dunia usaha, Redma menilai cara termudah untuk mendukung industri dalam negeri adalah dengan melindungi pasar dari dumping produk impor.
“Dan yang lebih penting lagi adalah memberantas impor ilegal, membersihkan mafia impor dari bea dan cukai,” tutupnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan enggan merevisi aturan tersebut. Menurut dia, pihaknya berupaya maksimal dalam menciptakan aturan impor.
Zulhas mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melindungi industri melalui investigasi impor dengan menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) dan bea masuk protektif (BMTP) daripada menerapkan persetujuan teknis (pertek).
Menurut dia, saat itu Presiden sepakat agar Perintah Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tidak ditinjau kembali.
“Terus kita ketemu lagi, saya ngotot, saya bilang ada jalan lain. Saya belum yakin aturan itu akan menyelesaikan masalah, saya tolak mentah-mentah, dan Presiden sepakat untuk tidak mengangkat menteri perdagangan lagi,” jelas Zulhas saat rapat kerja dengan Komisi VI DNR RI, Senin (08-07-2024).
Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA