Bisnis.com, JAKARTA – Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menyatakan keprihatinannya atas dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% pada tahun 2025 terhadap dukungan industri manufaktur. 

CEO Khimki Abdul Sobur mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% tahun depan dapat membebani bisnis meskipun penjualan ekspor lemah. Pasalnya, banyak pengusaha yang mengalihkan fokus usahanya ke pasar dalam negeri seiring menurunnya ekspor. 

“Industri secara keseluruhan, termasuk furnitur dan kerajinan tangan, saat ini menghadapi perlambatan di pasar ekspor, yang berarti kenaikan PPN akan menjadi kendala dan tekanan lain bagi mereka yang memasarkan meskipun permintaan lemah,” kata Sobour kepada Business. Minggu (26/5/2024).

Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor furnitur (HS 94) pada tahun 2023 sebesar 2,28 miliar dolar atau turun 22% (year on year) dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai 2,93 miliar dolar AS. dolar.

Sementara pada triwulan I 2024, ekspor furnitur tercatat sebesar US$ 595,5 juta, turun 0,82% secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang senilai US$ 6 juta. 

“Akibat menurunnya pasar ekspor, maka diharapkan anggota HIMKI yang sebagian besar merupakan eksportir berusaha mengembangkan pasar dalam negeri,” ujarnya. 

Sobur menilai kenaikan PPN akan menurunkan daya beli masyarakat karena harga pokok barang akan meningkat. Selain kenaikan harga pokok bagi kelompok konsumen, dampak lain terhadap industri adalah kenaikan harga sumber daya lokal. 

Menurut Sobur, PPN 12% juga akan meningkatkan harga bahan baku sehingga perseroan terpaksa menyesuaikan harga produk karena biaya produksinya meningkat. 

“Kenaikan PPN akan berdampak pada proses bisnis internal, termasuk pembelian dan penjualan produk. Peningkatan sumber daya akan dikaitkan dengan peningkatan biaya produksi, sehingga harga jual juga akan terpengaruh.” dia menjelaskan. 

Sekadar informasi, furnitur dan kerajinan tangan banyak berbahan dasar kayu lokal termasuk kayu keras, rotan, dan bambu. Artinya, jika PPN menjadi 12% maka akan menaikkan harga produk tersebut.

Ia juga mengatakan lemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pada penurunan atau penurunan kinerja perekonomian Indonesia secara makro. Kenaikan PPN hanya bersifat sementara sebagai insentif untuk meningkatkan penerimaan negara, namun berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 

“Ini yang perlu diketahui pemerintah. Buruknya daya beli masyarakat pada akhirnya akan mengganggu operasional perusahaan yang jika tidak maka akan mengancam eksistensi perusahaan itu sendiri,” tutupnya. 

Lihat berita dan cerita lainnya di Google Berita dan Channel WA