Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat menilai isu kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan menjadi tantangan bagi perusahaan asuransi. 

Pengamat asuransi Dedy Kristianto menilai kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada struktur harga perusahaan asuransi, tetapi juga berdampak langsung pada daya beli masyarakat terhadap produk asuransi.

Pembicaraan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan bukanlah kabar baik bagi banyak sektor, karena akan berdampak pada tambahan pendapatan yang mereka terima, kata Dedy saat dihubungi Bisnis, Rabu (20/11/2024). 

Dedy mengatakan, di bidang asuransi, kenaikan PPN otomatis akan menyebabkan kenaikan premi yang harus dibayar nasabah. Menurutnya, dampak kenaikan pajak ini akan membuat masyarakat atau perusahaan berpikir untuk membeli asuransi. 

“Dengan meningkatnya pajak yang akan dibayarkan, konsumen atau perusahaan pasti akan mempertimbangkan kembali untuk mendapatkan asuransi. “Dengan kondisi seperti ini maka akan berdampak pada berkurangnya pasar asuransi,” lanjutnya.

Dedy menekankan pentingnya langkah strategis yang dilakukan perusahaan asuransi untuk mengurangi dampak kenaikan PPN. Ia berpendapat bahwa perusahaan harus menciptakan produk yang memberikan nilai tambah sehingga konsumen tetap merasa mendapatkan manfaat lebih dibandingkan uang ekstra yang harus mereka keluarkan.

Ia juga mengingatkan jika industri asuransi tidak segera mengambil inisiatif baru untuk mengatasi tantangan tersebut, penetrasi pasar akan terus menurun. 

“Jika industri asuransi tidak melakukan inisiatif baru seperti ini, penetrasi pasar akan terus menurun,” ujarnya.

Selain kenaikan PPN, persoalan kenaikan subsidi sistem kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun depan juga menjadi tantangan tambahan yang tidak bisa diabaikan.

Dedy mengatakan kenaikan ini tidak akan membebani individu, tapi juga perusahaan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat dan dunia usaha akan lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, termasuk pada produk asuransi bisnis.

“Tentunya akan semakin sulit, tidak hanya bagi individu tetapi bagi perusahaan,” pungkas Dedy.

Sementara itu, penetrasi asuransi di Indonesia akan berada pada level 2,59% mulai tahun 2023, tren tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2020 yang berada pada level 3,11%. Sedangkan aset sektor asuransi bernilai Rp1.142 triliun per September 2024. Angka tersebut meningkat 2,46% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni Rp1.115 triliun. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dari sisi asuransi usaha, total aset mencapai Rp922,48 triliun atau meningkat 3,81% dalam satu tahun (YoY/Yo).  Asuransi komersial berupa akumulasi pendapatan premi mencapai Rp 245,42 triliun atau meningkat 5,77% YoY, terdiri dari premi asuransi jiwa yang meningkat 2,73% YoY, serta premi asuransi umum dan asuransi meningkat 9,7% yoy. 

Sedangkan dana asuransi jiwa mencapai Rp135,64 triliun, dan dana asuransi umum dan asuransi mencapai Rp109,78 triliun. Kinerja ini didukung oleh kuatnya permodalan dari sektor asuransi, dengan segmen asuransi jiwa dan umum melaporkan total modal berbasis risiko (RBC) masing-masing sebesar 458,31%% dan 329,89%. Angka tersebut masih di atas ambang batas yang ditetapkan OJK yaitu 120%. 

Pada kelompok asuransi non keuangan yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta skema asuransi ASN, TNI dan POLRI terkait skema asuransi pekerja dan asuransi kematian, total aset tercatat sebesar Rp 220,02 triliun. atau berkurang sebesar 2,8 miliar. % yoy. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel