Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon pengujian hukum UU No.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan ketentuan pasal-pasal dalam UU HKPD telah diuji hukum dan tidak bertentangan dengan UU Tahun 1945, sehingga dalil-dalil calon tidak relevan.

“Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Konstitusi berhak menolak permohonan uji materi yang diajukan para pemohon,” kata Luky dalam Sidang Uji Sumber Daya UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis. (11/7/2024).

Dalam komentarnya, Luky menyebut UU HKPD mengatur tentang Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebagai pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan jasa tertentu, salah satunya seni dan hiburan.

Menurut dia, PBJT bidang seni dan hiburan bukanlah jenis pajak baru karena tujuan PBJT bidang seni dan hiburan telah diperkenalkan dengan nama pajak hiburan dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Pendapatan Daerah (PDRD).

Dalam UU HKPD, pemerintah menetapkan tarif PBJT untuk pertunjukan seni dan hiburan di diskotik, karaoke, tempat hiburan malam, bar, dan pemandian uap atau spa minimal sebesar 40% dan sebanyak-banyaknya 75%.

“Kebijakan ini didasari oleh pemikiran bahwa benda tersebut hanya dikonsumsi oleh kelompok tertentu dan memberikan nilai kegunaan lain berupa kekuasaan, gaya hidup, dan status sosial,” kata Luky.

Ia mengatakan, pajak tersebut dikenakan bukan untuk meningkatkan pendapatan negara, melainkan untuk memastikan kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan kondisi terkait dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah.

Sebaliknya, dalil pemohon yang menyatakan penetapan tarif PbJT untuk bidang seni dan hiburan dapat menurunkan daya jual industri tersebut dinilai tidak beralasan.

Merujuk pada konsep konsumsi mencolok, Luky mengatakan konsumen tetap membeli suatu barang meski harganya naik, termasuk perlunya kenaikan pajak, karena barang tersebut memberikan nilai kegunaan lain berupa properti, gaya hidup, dan status sosialnya. . .

Dengan demikian, dalam dalil pemohon perkara no.

Menanggapi hal tersebut, Luky menjelaskan, perlakuan terhadap pemandian uap dan spa sebagai aset pajak daerah bukanlah hal baru. Dalam UU PDRD diperkenalkan pajak pemandian/mandi uap sebagai pajak hiburan, dan kemudian dalam UU HKPD sebagai unsur PBJT untuk seni dan hiburan.

Padahal, dulu, lanjutnya, penetapan pemandian uap dan spa sebagai barang pajak daerah sejak UU Nomor 18 Tahun 1967 juncto UU Nomor 18 Tahun 1967 telah ditetapkan. 4/2000.

Menurut dia, penetapan pemandian/spa sebagai properti PBJT untuk seni dan hiburan tidak bertentangan dengan Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, karena bukan merupakan jenis pelayanan dasar dan kesehatan primer. Karyanya lebih penting untuk mencapai hiburan, dibandingkan cara hidup yang memberikan citra pada kelompok masyarakat tertentu. 

Pihaknya juga menegaskan, tidak akan ada pajak berganda untuk tingkat PBJT atas kegiatan seni dan hiburan di pemandian uap serta pajak dan retribusi lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pemerintah menyimpulkan para pemohon telah salah menafsirkan ketentuan Pasal 55 ayat 1 huruf I, Pasal 58 ayat 2, dan pengertian Pasal 55 Pasal 1 huruf l. 

Pemerintah juga meminta Mahkamah Konstitusi memutus permohonan pengujian UU HKPD Tahun 1945 dan mengeluarkan keputusan, terlebih dahulu menerima sepenuhnya deklarasi presiden. Kedua, disebutkan bahwa pemohon tidak mempunyai hak hukum dan permohonan pemohon tidak dapat dilakukan. Ketiga, menolak permohonan peninjauan properti oleh pemohon secara keseluruhan. 

Keempat, UU HKPD harus dikatakan tidak bertentangan dengan UU Tahun 1945, kalau Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat, silakan diputuskan wajar dan adil, ujarnya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel