Bisnis.com, Jakarta – Investigasi penyebab Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) kembali ramai diperbincangkan. Meski para peretas membuka kembali data yang terkunci, Samuel Abrijani Bangerappan, salah satu pejabat tertinggi Kementerian Komunikasi dan Informatika, telah mengundurkan diri dari jabatan Direktur Jenderal (Tirge) Optica Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pada Rabu malam (3/7/2024), akun media sosial X.com (sebelumnya Twitter) mengunggah postingan tentang seseorang yang diduga kuat membocorkan data PDNS.
Akun tersebut menyebarkan rumor bahwa DPA yang bekerja untuk Lindarda berada di balik kebocoran data PDS2 di Surabaya. DPA diduga mengirimkan dokumen rahasia melalui virtual private network (VPN) ke pusat data nasional Google pada 11 Oktober 2022.
Dari dokumen yang diunggah, Brain Cipher diduga akhirnya berhasil membobol sistem PDNS dan mengunci datanya.
Selain menunjukkan dokumen yang diduga sebagai pintu gerbang Brain Cipher, kartu identitas pegawai DPA bernama Lintasarta juga diunggah di akun tersebut.
“Pada 11 Oktober 2022, kami menerima informasi luar biasa yang menunjukkan dengan kuat bahwa kebocoran PDN mungkin terjadi secara internal.. Dia adalah saksi Mahkota,” tulis akun tersebut.
Postingan tersebut telah mendapat 15.000 suka hingga pukul 06.00 WIB pada Kamis (7/4/2024) dan memicu 313 diskusi.
Pembahasan dalam postingan ini berbeda-beda. Ada yang mendukung dan ada pula yang menyangkal.
Dari sana.
PT Indosat Tbk. (ISAT) menegaskan, terduga pelaku pembobolan data Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 bukanlah pegawai Lindarda.
Indosat membantah pemberitaan yang beredar di media sosial bahwa pembocor data PDNS adalah pegawai Lindarda.
“Kami pastikan orang yang diduga terkait dengan Pusat Data Nasional (PDN) tidak memiliki hubungan dan/atau kontrak kerja dengan Lintasarta per Agustus 2021,” kata Direktur Komunikasi Indosat Ooredoo Hutchison Steve Saerang kepada Bisnis, Kamis (4). /7/2024).
Steve mengatakan, grup Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) dan seluruh anak perusahaannya, termasuk Lintasarta, selalu menjaga integritas yang tinggi dan menjaga kepercayaan pelanggan dalam pekerjaannya.
“Hal ini merupakan bagian dari penerapan tata kelola yang baik untuk menjaga kualitas layanan dan pengalaman bagi seluruh pelanggan,” kata Steve.
Serangan dunia maya internasional
Sementara itu, Ketua Forum Keamanan Siber Indonesia (ICSF) RT Sudeja menegaskan, informasi PDNS merupakan informasi penting pemerintah. RT menilai apa yang dialami PDNS saat ini adalah serangan siber, bukan peretasan.
Menurutnya, para peretas sebenarnya tidak meminta uang tebusan kepada pemerintah. Ia yakin para peretas mengincar data sensitif di PDNS.
“Ini bukan lagi kepentingan kelompok atau individu, tapi kepentingan negara lain. Ini sudah menjadi semacam senjata ofensif. Jantung dan saraf negara sedang diserang,” kata Rd.
Arty mengatakan, sejak rencana pemerintah melakukan sentralisasi data di lembaga dan instansi pemerintah, dirinya mendapat kritik pedas.
RT sudah lama khawatir PDNS bisa diretas. Jika hal ini terjadi, bukan hanya data satu kementerian yang akan dicuri, tapi data seluruh kementerian dan lembaga pemerintah.
Ia menyayangkan keputusan pemerintah yang menempatkan informasi penting negara di layanan cloud.
“Ini seperti menaruh semua telur dalam satu keranjang. Jika keranjang jatuh, semua telurnya akan pecah. “Terbukti,” kata Arty.
Sementara itu, serangan Ransomware pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) adalah terorisme cyber Wakil Direktur Opera@on CSIRT.ID M.S. Keraguan Mangalani.
Kriteria pelaku yang terlibat dalam terorisme siber adalah motif penyerangan, tujuan, metode penyerangan, dampak yang diharapkan, dan korbannya.
Menurut dia, serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 secara teknis memenuhi seluruh kriteria klasifikasi terorisme siber.
Mangalan dikutip mengatakan, “Ini tentang bagaimana pihak berwenang mengungkap dan membuktikan bahwa ada motif ideologis dan politik di balik kelompok penjahat kripto yang menuntut uang tebusan $8 juta.”
Mangalani menambahkan, jika terbukti ada aktor ideologis dan politik di balik serangan siber tersebut, tentu akan menimbulkan tantangan baru yang lebih kompleks terhadap sistem penegakan hukum.
Ia menambahkan, manajemen krisis siber dalam menangani serangan teror siber berbeda dengan praktik etis dalam merespons kejahatan siber biasa. Konsekuensi dari tindakan penanggulangan siber dapat menimbulkan konsekuensi dan komplikasi yang luas baik secara teknologi maupun diplomatis antar negara – jika operasi tersebut melibatkan proyek lintas batas, maka implikasi geopolitik, sosial dan ekonomi harus dipertimbangkan.
Ia melanjutkan, pemerintah harus menganggap serangan ransomware terhadap PDNS sebagai terorisme siber dan meminta masyarakat, khususnya praktisi keamanan siber, untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu. .
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel