Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Benang dan Serat Indonesia (APSyFI) meminta pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pengusahaan (Permendag) no. 8/2024 telah meminta pencabutan dan penerapan kembali kebijakan impor dan peraturan yang mengatur ekspor dalam Peraturan Perdagangan Nomor 36. /2023.

Direktur Utama APSyFI Redma Geetha Wiravasta mengatakan, semakin banyaknya penutupan pabrik yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di beberapa daerah antara lain karena aturan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2024 menjadi alasannya.

“Memang PHK dan penutupan pabrik semakin sering terjadi dalam 2 bulan terakhir, pasca keluarnya Permendag 8,” kata Redma kepada Bisnis, Rabu (7 Maret 2024).

Menurut dia, meski tidak sepenuhnya karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 karena PHK sudah terjadi sejak akhir tahun 2022 dan selama tahun 2023, namun hadirnya aturan tersebut mempercepat proses penutupan pabrik. sampai tahun 2024. adalah

Redma mengatakan, sejak PHK meluas pada tahun 2022 dan berlanjut hingga tahun 2023, pemerintah tidak mengambil langkah apa pun untuk menghentikan PHK tersebut. 

Dia mengatakan pemerintah baru mengambil tindakan pada Oktober 2023 ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan kementerian terkait untuk mengendalikan impor.

Menindaklanjuti arahan tersebut, pada Desember 2023, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan izin nomor 36/2023 dan berlaku mulai tahun 2024. Hanya berselang 2 bulan, pemerintah memberikan kemudahan impor melalui Izin Nomor 8 Tahun 2024.

Ia menjelaskan: “Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak pada importir dibandingkan produsen dalam negeri, sehingga secara tidak langsung Parmendag 8 dapat dikaitkan dengan penghematan mesin dan penutupan pabrik”. 

Ia mengungkapkan, insentif yang ada saat ini belum cukup efektif untuk mendukung kinerja produsen. Kecuali jika pemerintah bersedia menjembatani kesenjangan harga antara produk lokal dan impor.

“Jadi kita bisa menjualnya dengan harga barang impor, tapi selisihnya akan dibayar pemerintah sebagai insentif,” usulnya.

Selain itu, ia mengharapkan pemerintah untuk memperkenalkan insentif harga gas sebesar $4/MMbtu atau setara dengan harga gas di Tiongkok. Namun, dia belum bisa memastikan apakah pemerintah mempunyai anggaran yang cukup untuk mendorong dunia usaha.

Meski pemerintah tidak memiliki dana untuk memajukan usaha, Redma yakin cara termudah untuk mendukung industri dalam negeri adalah dengan melindungi pasar dari dumping produk impor. 

“Dan yang terpenting adalah menyelesaikan permasalahan impor ilegal dengan membersihkan bea dan cukai dari mafia impor,” tegasnya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel