Bisnis.com, JAKARTA – Carbon capture storage (CCS) merupakan sistem yang digunakan untuk menangkap karbon dari pembakaran bahan berbasis fosil (minyak dan gas serta batu bara), yang kemudian dipompa ke reservoir (ruang bawah tanah). Biasanya ini adalah sumur minyak dan gas).

Dalam beberapa kasus, gas yang disuntikkan juga dapat digunakan untuk mengangkat atau merangsang produksi minyak dan/atau gas alam di sumur aktif.

Karbon dioksida (C02), atau biasa disebut karbon saja, dilepaskan ke atmosfer dan menyumbang hingga 65% dari seluruh emisi gas rumah kaca. Selain itu, pangsa terbesar, yaitu lebih dari 70%, berasal dari sektor energi dan transportasi.

Terdapat banyak skenario untuk mengurangi emisi karbon, termasuk mengganti bahan bakar dan energi berbasis fosil dengan energi baru dan terbarukan yang tidak menghasilkan emisi karbon; penanaman pohon/reboisasi secara besar-besaran untuk penyerapan karbon; Penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) telah diterapkan.

Sayangnya, untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia, dibutuhkan setidaknya Rp 3.700 triliun untuk mencapai seluruh target (Nationally Ditentukan Kontribusi = NDC) yang ditetapkan pemerintah hingga tahun 2030. Jumlah tersebut sungguh kecil.

Salah satu faktor penentu keberhasilan Indonesia mencapai target NDC adalah partisipasi para pelaku usaha migas di Indonesia dan dunia.

Mengapa? Pertama, mereka sudah lama menyadari isu transisi energi sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk mengalokasikan kebijakan pembiayaan perusahaan untuk berinvestasi pada energi terbarukan.

Kedua, karena mereka tertarik untuk mengembangkan usahanya di bidang migas, dimana kebutuhan energi dunia akan semakin tinggi di masa depan.

Diakui, tidak semua perusahaan migas global memiliki antusiasme yang sama terhadap pengembangan layanan komunikasi sentral. Secara umum, perusahaan migas Barat adalah yang paling aktif, antara lain Exxon, Chevron dan BP, sedangkan perusahaan migas utama Timur Tengah adalah Aramco, Rusia: Rosneft, dan Tiongkok: Petrochina. Perusahaan migas terbesar di dunia, agresivitasnya dalam pengembangan OKC masih belum terlihat. Antusiasme BP, Exxon dan Chevron sudah terlihat di Indonesia, bahkan BP menjadi perusahaan pertama yang menerapkan CCS untuk operasi minyak dan gas di Papua Barat.

Pemerintah Indonesia menghitung kebutuhan dana mitigasi perubahan iklim dari sektor energi dan transportasi merupakan angka yang fantastis, yakni Rp 3.500 triliun.

Angka tersebut luar biasa dibandingkan kehutanan yang “hanya” membutuhkan kurang dari Rp 100 triliun. Dari angka-angka tersebut saja terlihat jelas bahwa keberhasilan mitigasi perubahan iklim lebih ditentukan oleh keberhasilan pengendalian emisi karbon pada sektor energi dan transportasi dibandingkan pada sektor kehutanan.

Jika bicara soal pengendalian karbon di industri energi, siapa yang lebih banyak bicara? Tentu saja para pelaku industri energi melakukan pembakaran yang mengeluarkan karbon dalam operasional bisnisnya.

Di Indonesia tentunya berada di bawah pengawasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengambil kebijakan, mengatur dan mengawasi sektor energi. Menteri Energi merupakan pejabat yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan penurunan emisi karbon di Indonesia, bukan lagi menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Lalu bagaimana dengan industri transportasi? Sektor transportasi darat khususnya dapat dikelola melalui kebijakan kendaraan listrik yang menjadi domain Menteri Energi bersama Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian.

Di masa depan, jika pilar utama pengendalian perubahan iklim didominasi oleh kegiatan pusat pelayanan komunikasi, maka para pelaku industri migas yang dipimpin oleh Departemen Energi akan sangat bergantung pada kualitas injeksi karbon untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Keamanannya. , aspek kesehatan dan lingkungan, dan tentu saja aspek ekonomi.

Jika tidak, siapa lagi yang dianggap layak mempelajari seluk beluk penambangan dan penyimpanan luar angkasa?

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran siap menempuh kebijakan penggabungan Kementerian yang bertanggung jawab di bidang energi dengan yang bertanggung jawab di bidang perlindungan lingkungan hidup dalam upaya pengurangan perubahan iklim. Di level menteri koordinator, namun di level menteri regulasi yang dapat mengambil kebijakan teknis dan operasional untuk mengoordinasikan dan menyinkronkan kebijakan energi dan lingkungan hidup di masa depan. Saya harap!

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA