Bisnis.com, JAKARTA – Sejak akhir kuartal II 2024, pergerakan perbankan dalam menghimpun dana masyarakat mulai menanjak. Pada awal tahun ini, kinerja penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) cukup menjanjikan, yakni sebesar 5,80% year-on-year (y/y).

Kinerja tersebut naik dibandingkan Desember 2023 yang naik 3,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah pertumbuhan simpanan mencapai puncaknya sebesar 8,63% tahun-ke-tahun pada Mei 2024, bank mulai mengalami kesulitan dalam menerima dana pemerintah.

Kondisi ini terlihat dari perolehan DPK yang secara bertahap hanya tumbuh sebesar 7% year-on-year hingga Agustus 2024. Tabungan dan deposito memperlambat pertumbuhan DPK, masing-masing meningkat sebesar 6,14% dan 5,37% dibandingkan tahun lalu. tahun sebelumnya. 

Kisah ketatnya likuiditas bank akhirnya tiba. Selain alasan pertumbuhan DPK yang terus menurun, alasan ketatnya likuiditas juga karena semakin mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh DPK.

Sebagai gambaran, pada akhir tahun 2023 biaya bunga mencapai 2,46% dari DPK, namun pada Agustus 2024 biaya dana naik menjadi 2,88%. Meningkatnya biaya dana kemudian dituding sebagai salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan pendapatan bunga bersih sehingga menyebabkan pertumbuhan laba perbankan lebih rendah dibandingkan tahun lalu.  

Sementara itu, di sisi lain, proporsi dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk pinjaman atau dikenal dengan loan to deposit ratio (LDR) juga meningkat dari 83,83% pada Desember 2023 menjadi 86,80% pada Agustus 2024. LDR berarti sedikit dana yang dialokasikan pada alat likuid. Lantas, apakah situasi likuiditas bank tersebut benar-benar suram? 

Kenyataannya, kondisi likuiditas perbankan tidak terlalu buruk dan masih cukup lemah. Memang benar pertumbuhan DPK terus menurun bahkan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit, namun ketersediaan alat likuid masih cukup besar.

Hal ini dibuktikan dengan porsi alat likuid yang dapat digunakan untuk menarik simpanan (AL/DPK) masih cukup tinggi. Data Bank Indonesia menunjukkan rasio AL/DPK ditetapkan sebesar 24,66% pada Agustus 2024. Indikator tersebut jauh melampaui nilai ambang batas sebesar 10%. Secara nominal, volume alat likuid cukup tinggi hingga mencapai Rp 2.100 triliun. 

Jika dicermati, cukup banyak alat likuid perbankan yang ditempatkan pada Surat Berharga Negara (GSP). Bahkan terdapat sejumlah dana menganggur yang diinvestasikan pada instrumen moneter Bank Indonesia, yaitu Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah (SRBI). SRBI membeli dana perbankan sedikitnya Rp 500 triliun.

Dana dalam SRBI merupakan likuiditas bank yang disimpan di Bank Indonesia, yang tampaknya mencerminkan kontraksi tersebut. Namun, kebijakan bermasalah SRBI tidak sepenuhnya bersifat kontraktif. Pasalnya, perbankan bisa dengan mudah mencairkan SRBI misalnya melalui repo.

Repo merupakan kegiatan penjualan surat berharga dengan janji akan dibeli kembali dalam jangka waktu tertentu. Bank juga bisa langsung menjual SRBI di pasar keuangan. Hal ini berbeda dengan kebijakan Bank Indonesia yang menarik likuiditas perbankan dengan meningkatkan giro wajib minimum (GWM). Dana di GWM tidak dapat ditarik oleh bank.

Sementara itu, peningkatan rasio LDR menjadi 86,80% pada Agustus 2024 masih terkendali. Rasio ini masih tergolong aman karena secara historis LDR perbankan jarang melebihi 90%. Selain itu, sumber dana penyaluran kredit tidak hanya berasal dari FPF saja, namun juga berasal dari utang luar negeri, penerbitan surat berharga atau pinjaman dari pihak lain. 

Kondisi likuiditas yang masih cukup lemah juga tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Indonesia cukup rajin mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi likuiditas.

Terakhir, Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang diluncurkan pertengahan tahun lalu. KLM memberikan insentif likuiditas kepada perbankan dalam bentuk relaksasi GWM. Otoritas moneter telah menyalurkan likuiditas sebesar 256,5 triliun rupiah hingga Agustus 2024, menurut data Bank Indonesia. 

Ke depan, likuiditas akan menurun seiring dengan rencana Bank Indonesia untuk memfokuskan kembali KLM. Likuiditas akan diberikan kepada bank yang memberikan pinjaman kepada sektor usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Dengan reorientasi ini, insentif yang diberikan KLM tidak hanya sekedar menguras likuiditas, tapi juga meningkatkan penyaluran kredit, terutama meningkatkan lapangan kerja, termasuk UMKM, pinjaman ultra mikro dan hijau.

Selain itu, kebijakan Bank Indonesia mulai mengarah ke arah pelonggaran kebijakan moneter. Diketahui, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada September 2024 dan membiarkannya tidak berubah pada Oktober 2024. Kebijakan penurunan BI Rate menjamin keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. 

Pelonggaran kebijakan moneter ini juga memberikan kelonggaran bagi perbankan sehingga tekanan likuiditas pun berkurang. Bank dapat segera menurunkan bunga deposito untuk menurunkan biaya dana. Dan alhasil pertumbuhan DPK kembali meningkat.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan saluran WA