Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah belakangan ini menjadi perhatian. Meski demikian, pemerintah menilai pelemahan rupee hanya bersifat sementara.

Berdasarkan data, nilai tukar rupiah sebenarnya mendekati Rp 16.491 terhadap dolar AS. Namun, pemerintah meyakini fundamental sektor publik masih kuat. Diperkirakan hanya pertumbuhan 2,8%, pertumbuhan ekonomi 5,1%, dan pertumbuhan kredit 12%.

Di media publik kita bisa membaca, pada 21 Juni 2024, nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp16.450 terhadap dolar AS, naik 0,12% dari hari sebelumnya. Ini merupakan kurs Rp terendah tahun ini dan terbaik sejak 23 Maret 2020, saat itu Rp 16.575 per dolar AS. Lemahnya nilai tukar rupiah, selain menjadi ancaman bagi pengusaha, juga membuat masyarakat khawatir terhadap masa depan Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia turun sekitar 3%, sedangkan impor turun 8% – dibandingkan pertumbuhan April lalu yang hampir 5%. Memiliki neraca perdagangan yang tumbuh baik bagi rupee. Cadangan devisa kita tetap sebesar USD 139 miliar.

Kinerja ekspor yang baik memberikan peluang lebih besar bagi negara asing untuk mengalahkan pasar dalam negeri. Namun, neraca perdagangan yang dicapai tidak menjamin keamanan investasi kita.

Jika dolar AS menguat, maka neraca perdagangan mau tidak mau akan melemah, sedangkan rupee akan melemah akibat diberlakukannya rezim perdagangan bebas. Efek domino

Bagi Indonesia, depresiasi nilai tukar rupiah menjadi Rp16.000 per dolar AS tidak kondusif bagi pengembangan sumber daya manusia. Bagi produsen industri di negara yang sangat bergantung pada bahan baku impor, efek domino melemahnya nilai tukar rupee tentu kontraproduktif.

Ketika dolar AS menguat, biaya tenaga kerja yang dihasilkan perusahaan meningkat dan tidak berkelanjutan sehingga harga jual produk menjadi tidak kompetitif. Akibat kenaikan harga produk, tidak hanya menurunkan daya saing produk, namun juga menurunkan daya beli masyarakat.

Kenaikan harga berbagai produk yang ditawarkan pasar kepada konsumen tentunya akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Untuk produk yang sama, harganya akan lebih tinggi karena meningkatnya biaya produksi. Apabila pendapatan masyarakat terus mengalami penurunan atau penurunan tentu akan berdampak pada menurunnya daya beli atau daya beli.

Jika upah masyarakat tetap sama, bisa dibayangkan akibatnya, harga-harga berbagai produk kebutuhan sehari-hari semakin meningkat. Beberapa keluarga mungkin dapat memperketat ikat pinggang, namun keluarga lainnya justru menurunkan taraf hidupnya karena tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menjalani kehidupan yang layak.

Sekarang, hal ini lebih dari sekedar kenaikan biaya tenaga kerja untuk bahan mentah. Berbagai aspek persyaratan pembuatan dan pemasaran produk seperti biaya logistik, transportasi, listrik, dll.

Suatu perusahaan tidak dapat mempertahankan daya saingnya dengan menjual produk dengan harga bersaing. Mau tidak mau, perusahaan perlu menaikkan harga jual produknya akibat kenaikan biaya produksi. Permasalahannya terkait dengan daya beli masyarakat.

Hal ini berbeda dengan situasi dimana kebutuhan masyarakat meningkat dan pendapatan meningkat seperti sebelum pandemi Covid-19. Harus dikatakan kondisi pengelolaan saat ini kurang baik. Karena kenaikan harga bahan baku dan biaya tenaga kerja, banyak pabrik yang tutup. Meningkatnya biaya tenaga kerja di berbagai sektor akan menyebabkan berkurangnya kegiatan usaha, berkurangnya produktivitas dan berkurangnya lapangan kerja.

Pada pertengahan tahun 2024, dilaporkan terjadi PHK di berbagai industri. Banyak perusahaan yang tidak hanya mengurangi kapasitas produksi tetapi juga mengurangi jumlah karyawan atau pekerjanya. Lebih dari 100.000 pekerja dilaporkan menjadi korban PHK dalam 5-6 bulan terakhir.

Masyarakat yang kehilangan pendapatan akibat PHK tentu akan mengalami penurunan daya beli akibat status penganggurannya. Efek domino pelemahan rupee cepat atau lambat akan menjalar ke seluruh aspek kehidupan, mulai dari stabilitas dunia usaha, kelangsungan hidup masyarakat, dan dampaknya terhadap kebutuhan masyarakat.

Banyak hal yang perlu dilakukan dalam rencana aksi pemerintah berikutnya untuk membalikkan efek domino rupee terhadap dolar AS.

Depresiasi rupee tidak bisa dilakukan. Sumber permasalahannya bukan bagaimana cara meningkatkan nilai rupee terhadap dolar AS, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisir dampak depresiasi rupee di masa depan.

Pertama, bagaimana semaksimal mungkin melindungi produk usaha dari impor. Banyak kasus yang mengkaji keruntuhan bisnis riil di luar negeri akibat masuknya produk impor.

Arus impor Tiongkok merupakan salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi Indonesia. Perlu diketahui, stabilitas industri pakaian dalam negeri kerap dipengaruhi oleh tindakan pabrikan China yang menawarkan produk pakaian lebih murah dan berkualitas rendah.

Kedua, bagaimana memperkuat dan meningkatkan nilai pelanggan dengan meningkatkan pengalaman pelanggan internal. Bagi pemerintah, kepentingan merangsang pembangunan di luar negeri adalah untuk meningkatkan perolehan devisa.

Peningkatan jumlah konsumen tidak dapat memberikan manfaat peningkatan pendapatan luar negeri jika informasi produk terus diimpor. Perusahaan harus didorong untuk mengekspor hasil sumber bahan baku lokal dan mengembangkan produksinya melalui berbagai cara.

Dewan Pengurus (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6,25%, suku bunga Lembaga Penyimpanan sebesar 5,50%, dan suku bunga Lembaga Pemberi Pinjaman sebesar 7,00% pada 19-20 Juni 2024.

Kita tidak bisa mengandalkan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain langkah yang dilakukan Bank Indonesia, pemerintah diyakini mampu mengurangi ketergantungan impor dan impor barang serta mendorong pertumbuhan.

Tanpa peningkatan pendapatan devisa yang stabil, jangan berharap stabilitas rupee akan bertahan dengan baik. Untuk memastikan rupiah tidak terpuruk, diperlukan dukungan pengusaha yang mandiri dan handal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA