Bisnis.com, JAKARTA – Isu pembatasan BBM bersubsidi yang akan diterapkan pemerintah pada 1 Oktober 2024 merupakan kebijakan yang kurang tepat.

Dalam situasi politik yang belum stabil dan rendahnya daya beli masyarakat; Rencana pembatasan bahan bakar bersubsidi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus ditunda sampai proses pemerintahan transisi Presiden Prabowo dilaksanakan.

Saat ini daya beli masyarakat masih lemah; Gelombang PHK dan beban ekonomi yang menimpa kelas menengah yang terlantar, masyarakat dihadapkan pada serangkaian pilihan yang sangat sulit.

Oleh karena itu, jika kebijakan ini diterapkan sebelum masa jabatan presiden terpilih, maka penerapan pembatasan BBM akan berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah dan akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Situasi permintaan konsumen di Indonesia saat ini menunjukkan penurunan secara umum. Pertama, Data dari BPS; Laju inflasi bulan ke bulan (MtM) pada Agustus 2024 sebesar 0,03% yang berarti terjadi penurunan inflasi sebesar 0,03% pada bulan yang sama tahun lalu. Karena inflasi yang sangat rendah berarti perekonomian sedang dalam keadaan stagnasi, maka peningkatan pendapatan per kapita diturunkan ke tingkat pusat sehingga mempengaruhi PDB pada tahun 2024.

Kedua, penurunan permintaan masyarakat diimbangi dengan penurunan penerimaan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) sebesar 11% pada paruh pertama tahun 2024 (CNBC Indonesia, 2024). Artinya, pendapatan dalam negeri Indonesia akan menurun hingga akhir tahun 2024, seiring menurunnya daya beli masyarakat dengan pajak yang lebih rendah. Dampak utamanya pada tahun 2025 adalah pemerintah menambah utang untuk membiayai pembangunan. Prioritas presiden yang baru terpilih.

Langkah yang disponsori pemerintah untuk memberlakukan pembatasan bahan bakar merupakan langkah yang tepat dan baik, katanya. Namun, masyarakat perlu membuat rencana ke depan agar mereka memiliki ekspektasi harga yang wajar. Seiring dengan regulasi dan perubahan sosial, langkah pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan dengan membuka informasi mengenai pembatasan bahan bakar merupakan langkah yang tepat dan tidak bijaksana.

Proses pengambilan kebijakan dan transformasi sosial tidak dapat dilakukan dengan cepat. Kondisi masyarakat yang terfragmentasi dan lambatnya proses birokrasi membuat kebijakan pembatasan bahan bakar perlu ditunda untuk menjaga kestabilan daya beli konsumen di tengah ketidakpastian perekonomian saat ini.

Argumen penting yang mendukung penundaan dalam waktu dekat adalah penarikan massal kelas menengah; PHK di sektor industri; Sesuai kebijakan tersebut, terdapat pengangguran di sektor informal (Media Indonesia, 2024). Pembatasan bahan bakar yang saat ini menopang perekonomian 50 persen penduduk Indonesia akan sangat terdampak.

Menurut teori ekonomi, Dengan melepaskan biaya APBN sebelumnya, maka pemberian subsidi akan menurunkan harga di bawah keseimbangan sehingga menurunkan harga minyak.

Namun pemerintah membutuhkan anggaran yang cukup untuk mendukung minyak dan LPG hingga Rp 113,3 triliun, 3,4% dari APBN 2024 (Kementerian Keuangan, 2024). Jika ditilik, tujuan utama subsidi adalah untuk menstabilkan perekonomian hingga menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Namun kenyataannya masyarakat menengah ke atas masih lebih memilih bahan bakar yang terjangkau sehingga program ini over budget dan tidak tepat sasaran. Pemerintah belum memiliki mekanisme yang tepat untuk memberikan bahan bakar langsung kepada kelompok kelas menengah.

Oleh karena itu, langkah untuk memberikan larangan penuh terhadap bahan bakar bersubsidi tidaklah salah; Sebaliknya, hal ini merupakan langkah yang memerlukan proses perencanaan dan kebijakan yang disengaja dan hati-hati.

Ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan bahan bakar bersubsidi, harga minyak naik sehingga memicu inflasi di sektor kebutuhan pokok dan menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah Indonesia.

Pada tahun 2024, jumlah kelas menengah Indonesia akan menyusut karena lemahnya daya beli. Oleh karena itu, lebih dari separuh penduduk Indonesia kelas menengah ke bawah justru akan merasakan kenaikan harga BBM yang selanjutnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan kondisi yang tepat untuk melindungi daya beli masyarakat. Langkah selanjutnya

Langkah pemerintah dalam membatasi BBM bersubsidi sangat tepat karena subsidi tepat sasaran dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan. Namun keputusan ini tidak serta merta dapat diterapkan dan harus dievaluasi secara hati-hati.

Upaya penerapan digitalisasi terpadu pada penerima BBM bersubsidi untuk mengatasi missing event pada penerima nonsubsidi. Proses integrasi sosial dan himbauan kepada masyarakat perlu dilakukan untuk terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat guna mengembangkan berbagai solusi bagi pemerintah untuk mengembangkan pandangan terhadap konsumsi bahan bakar di masa depan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel.