Bisnis.com, Jakarta – Industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang signifikan bagi negara, terutama sejak satu dekade terakhir dengan berkembangnya industri kelapa sawit menjadi tiga kelompok produk: pangan, energi terbarukan (bioenergi), dan produk kesehatan.
Proses hilirisasi atau hilirisasi pengolahan kelapa sawit telah berjalan lancar sejak tahun 2012, diprakarsai dan dikelola oleh para pengusaha kelapa sawit terkemuka. Hingga saat ini telah menghasilkan ratusan produk turunan dengan beragam manfaat, baik untuk pangan, energi, produk perawatan, maupun kosmetik.
Pada tahun 2016, Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, melampaui Malaysia. Pada tahun 2023, total produksi minyak sawit kita akan mencapai 55 juta ton dan akan menguasai 54% pasar minyak sawit global.
Hingga saat ini, minyak sawit telah menjadi ekspor non-migas terbesar kedua setelah batu bara, dengan nilai sebesar $30,3 miliar pada tahun lalu, atau 12% dari total ekspor. Selain itu, Indonesia juga merupakan pengguna minyak sawit terbesar di dunia dengan porsi 27% dari total konsumsi global. Peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit disebabkan oleh kekhawatiran mengenai persaingan penggunaan minyak sawit untuk pangan dan bioenergi.
Konsumsi minyak sawit sebagai biofuel di Indonesia pada tahun lalu mencapai 23,2 juta ton atau setara dengan 46% total konsumsi nasional, dimana 44% untuk pangan dan 10% untuk petrokimia. Komoditas ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan di pedesaan karena 40% dari sekitar 16,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia dimiliki oleh 6,7 juta petani kecil, dan industri kelapa sawit secara langsung dan tidak langsung mempekerjakan 16 juta orang.
Dengan peran luar biasa dan kontribusi nyata ini, kelapa sawit harus dianggap sebagai industri unggul yang strategis, layak dilindungi dan dikelola dengan baik untuk mencapai manfaat ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
Namun sayangnya, pemerintah bahkan pemerintahan Jokowi belum mengidentifikasi kelapa sawit sebagai industri strategis, malah sering terabaikan, dianggap sebagai duri dalam green brand atau komitmen terhadap keberlanjutan, dan pada saat-saat kritis dikorbankan untuk kepentingan perusahaan. keuntungan sementara. Kegagalan untuk menyelesaikan tumpang tindih izin dan klaim deforestasi yang diajukan terhadap industri kelapa sawit belum memuaskan pemerintah yang kesulitan mengelola perencanaan tata ruang dan menangani konflik.
Mengingat nilai strategis serta banyaknya potensi isu dan permasalahan yang dihadapi industri kelapa sawit di masa depan, pihak dan badan usaha kelapa sawit berharap pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dapat melakukan beberapa terobosan untuk memperbaiki tata kelola, termasuk kebijakan, kelembagaan. dan pengawasan terhadap industri kelapa sawit Prioritas terpenting adalah pemerintah baru perlu membangun industri kelapa sawit sebagai industri strategis nasional terkemuka yang memerlukan perlindungan, pengembangan dan pengawasan yang baik.
Secara hukum, industri kelapa sawit yang menjadi penghidupan jutaan keluarga, penghasil devisa negara, dan sumber pendapatan negara, memenuhi syarat sebagai orang penting nasional berdasarkan Perpres Nomor 11/2014/CP. Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Benda Kepentingan Nasional, dimana “benda kepentingan nasional adalah suatu kawasan/tempat, bangunan/bangunan dan/atau pekerjaan yang berkaitan dengan hajat hidup beberapa orang, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang strategis.”
“Untuk mencapai misi Presiden Prabowo dalam mencapai kedaulatan pangan dan energi, sebagai industri strategis unggulan, industri kelapa sawit dapat digolongkan menjadi tiga peran dan kepentingan strategis: Pertama, kelapa sawit merupakan industri penyimpan pangan yang strategis untuk mencapai kemakmuran rakyat. ketahanan pangan (food security) melalui pendirian perkebunan kelapa sawit dan industri yang memenuhi kebutuhan dan produk pangan terpadu merupakan pelaku strategis penting dalam mencapai ketahanan pangan nasional, karena ketahanan pangan menjadi prioritas pada perkebunan kelapa sawit aktif yang terintegrasi dengan industri produk pangan, dimulai dari minyak goreng dan ghee nabati. Kedua, mengklasifikasikan minyak sawit sebagai sumber bioenergi (pasokan energi) yang strategis dengan mengacu pada pengenalan perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan kelapa sawit ke bioenergi, mulai dari biodiesel, biokomposit, dan lain-lain. .
Mengingat meningkatnya laju konsumsi minyak sawit sebagai energi, terdapat kebutuhan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit baru di lokasi yang cocok untuk bioenergi, seperti Papua, Kalimantan dan Sulawesi, dimana masih terdapat jutaan hektar lahan terdegradasi yang cocok untuk pertanian dan peternakan. pemeliharaan. Pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan Ketiga, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan industri hilir lainnya, seperti produk perawatan dan kosmetik, dapat terus dikembangkan.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel