Bisnis.com, Jakarta – Ketegangan geopolitik kerap mengganggu stabilitas perekonomian global dan nasional.

Keterkaitan perekonomian global mulai dari perdagangan hingga pasar keuangan meningkatkan peran risiko geopolitik dalam mempengaruhi perekonomian berbagai negara, khususnya negara berkembang.

Caldara dan Lacoviello, ekonom di Dewan Gubernur Federal Reserve, mencatat bahwa pengusaha, pelaku pasar, dan bank sentral melihat risiko geopolitik sebagai faktor penting dalam pengambilan keputusan dan dinamika pasar.

Hasil tersebut juga tercermin dalam rapat Dewan Bank Indonesia yang diselenggarakan pada 16-17 Juli 2024. Setidaknya sejak Agustus 2023, risiko geopolitik selalu menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan.

Artinya, lembaga pemerintah yang menonjol di bidang ekonomi dan keuangan, khususnya bank sentral, tidak cukup memiliki kebijakan yang andal.

Untuk menjaga stabilitas perekonomian, perlu dilakukan pendekatan yang mendukung kebijakan tersebut dalam mengantisipasi risiko geopolitik. Pertanyaannya adalah: Bagaimana bank sentral menerjemahkan langkah-langkah dukungan kebijakan tersebut?

Kerja sama bank sentral internasional dapat menjadi upaya yang tepat sebagai upaya dukungan kebijakan dalam memprediksi risiko geopolitik.

Harus diterima bahwa setiap bank sentral tidak mengharapkan dampak negatif dari negara lain yang meningkatkan risiko krisis terhadap stabilitas perekonomiannya.

Jika demikian, bank sentral di seluruh dunia, suka atau tidak, harus berinteraksi dalam kerangka kerja sama. Upaya ini disebut “Diplomasi Bank Sentral”.

Krisis dan diplomasi

Selama tiga dekade terakhir, diplomasi berbagai bank sentral di seluruh dunia semakin terlihat. Hal ini disebabkan oleh dampak dua krisis ekonomi dan keuangan global, yaitu krisis tahun 1997/1998 dan krisis keuangan global tahun 2007/2008 yang melibatkan Asia, Rusia, dan Meksiko.

Kedua krisis ini mendorong bank sentral untuk terlibat lebih aktif dengan berpartisipasi dalam pembentukan Group of Twenty (G20) dan Dewan Stabilitas Keuangan.

Profesor Universitas Amerika Robert Kahn dan Profesor Universitas Duke Ellen Mead membenarkan hubungan antara tekanan ekonomi dan diplomasi bank sentral.

Dalam penelitiannya, Kahn dan Mead menyimpulkan bahwa interaksi multilateral antar bank sentral sangat penting sebagai “pintu gerbang” koordinasi pada saat krisis ekonomi.

Artinya, diplomasi bank sentral dapat digunakan untuk menciptakan mekanisme antisipasi risiko krisis, termasuk Jaring Pengaman Keuangan Internasional (JPKI) yang menjamin perekonomian terhadap dampak krisis.

Bank Indonesia telah memperkuat JPKI selama beberapa dekade terakhir untuk mendorong stabilitas perekonomian nasional. Kerja sama ini mencakup berbagai bentuk seperti pengaturan penyelesaian bilateral, pengaturan keuangan regional, serta kegiatan pencegahan dan penyelesaian krisis dengan bank sentral lain, organisasi regional, dan organisasi internasional.

Untuk menstabilkan nilai tukar, Bank Indonesia mendorong transaksi mata uang lokal (LCT) dengan bank sentral dan otoritas moneter berbagai negara, sehingga mengurangi ketergantungan pada mata uang dominan seperti dolar AS.

Kahn dan Mead juga menyimpulkan bahwa interaksi bank sentral terjadi melalui berbagai forum internasional yang membahas sistem keuangan global, lembaga keuangan, dan aliran modal.

Bank Indonesia aktif dalam forum internasional seperti Bank for International Settlements, Dana Moneter Internasional, G20, ASEAN/ASEAN+3 dan East Asia Pacific (EMEAP) Governors’ Meeting. Kemitraan ini penting untuk memperjuangkan kepentingan perekonomian Indonesia dan menjamin perdebatan yang lebih seimbang. Diplomasi pertumbuhan

Undang-Undang Nomor 2023 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan mengharuskan Bank Indonesia tidak hanya fokus menjaga stabilitas, tetapi juga berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hal ini juga tercermin dalam inisiatif diplomasi Bank Indonesia yang fokus mendukung perekonomian.

Yang pertama adalah kolaborasi Regional Payment Connection (RPC). Diluncurkan pada KTT G20 di Bali pada tahun 2022, kemitraan ini mencerminkan komitmen bank sentral untuk meningkatkan kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan ASEAN dan sekitarnya.

Tujuan dari rencana ini adalah untuk mendukung pembayaran lintas batas yang lebih cepat, lebih murah, lebih transparan dan inklusif. Harapannya perekonomian Indonesia dan negara-negara ASEAN dapat berkembang khususnya di bidang pariwisata.

Kedua, diplomasi hubungan investor. Diplomasi ini mencakup berbagai upaya dan inisiatif promosi perdagangan dan investasi yang bertujuan untuk menjaga persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia.

Salah satu bentuk inisiatif tersebut adalah kerja sama antara Unit Hubungan Investor yang disebut Regional Investor Relations Unit (RIRU) yang berlokasi di berbagai provinsi di Indonesia dengan National Investor Relations Unit (IRU) dan Global Investor Relations Unit (GIRU).

Tentu saja, untuk mencapai keberhasilan diplomasi ekonomi, diplomasi bank sentral perlu bersinergi dengan diplomasi kementerian/lembaga nasional lainnya.

Bank Indonesia terus berkoordinasi dan bekerja sama erat dengan banyak lembaga lain, antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan untuk memperjuangkan kepentingan perekonomian Indonesia di kancah internasional.

Beberapa sinergi tersebut telah dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman. Misalnya, nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Kementerian Luar Negeri mengenai diplomasi ekonomi yang dibuat pada tahun 2017 dan diperpanjang pada Mei 2024.

Berkat diplomasi yang kuat dari bank sentral dan kerja sama yang erat antar lembaga, dampak risiko geopolitik pasti akan semakin berkurang. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi nasional pada dasarnya tetap kuat, stabil dan stabil meskipun ada tekanan dari luar.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel