Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja yang terbilang inkonsisten nampaknya terus membayangi sektor keuangan syariah tanah air. Di satu sisi, Indonesia berhasil mempertahankan atributnya sebagai penerbit sukuk terbesar di dunia, bahkan melampaui Islamic Development Bank (IDB).
Sepanjang tahun ini, penerbitan sukuk di Indonesia telah mencapai US$5 miliar atau sekitar Rp78,5 triliun (dengan kurs Rp15.700 per dolar AS). Namun di sisi lain, jumlah tersebut masih jauh lebih sedikit dibandingkan obligasi biasa. Sukuk syariah hanya menyumbang 0,7% dari total penerbitan obligasi.
Tampaknya situasi di Indonesia tidaklah unik. Komposisi penerbitan sukuk, bahkan di negara-negara yang memiliki hukum syariah formal positif, masih tertinggal jauh dibandingkan obligasi konvensional. Sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, besaran penerbitan sukuk di Indonesia sudah sepatutnya tercermin dalam skala global.
Volume penerbitan sukuk yang relatif kecil tentunya memberikan tantangan bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengembangkan derivatif moneter. Mulai 14 Oktober 2024, BI menerbitkan Surat Berharga Bank Indonesia Rupiah (SRBI) berbasis obligasi bersyarat senilai Rp934,87 triliun.
Sementara itu, nilai sukuk valas yang diterbitkan lembaga moneter dan perkreditan (SUVBI) pada periode yang sama hanya sebesar 424 juta USD atau setara Rp 6,66 triliun. Berdasarkan angka tersebut, sukuk global yang dimiliki BI masih dominan sebagai aset acuan yang mendasari penerbitan SUVBI.
Benar, ada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan Kementerian Keuangan, namun jumlahnya tetap tidak sesuai dengan Surat Berharga Negara (SBN). Mulai Agustus 2024, dari total SBN Rp7.452,56 triliun, Rp1.581,73 triliun merupakan SBSN lokal dan valas.
Sedangkan BI sendiri terutama menciptakan sukuk untuk pengecer melalui digitalisasi jasa keuangan. Sukuku Ritel Negara dan Sukuku Tabungan merupakan produk investasi syariah yang ditawarkan pemerintah kepada perorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika nilainya relatif kecil.
Pada titik ini, terlihat jelas bahwa penerbitan sukuk di pasar perdana sangat diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar. Penerbitan sukuk sebagai sumber alternatif pembiayaan jangka panjang memberikan jaminan lebih besar dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, yang juga dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dalam jangka menengah, penerbitan sukuk dalam jumlah yang cukup akan mendorong diversifikasi instrumen keuangan syariah. Penguatan (dan pendalaman) pasar keuangan syariah dalam negeri merupakan manfaat lain yang dapat diperoleh dari peningkatan ketersediaan sukuk. Secara simetris, jumlah investor akan meningkat.
Dalam jangka pendek, ketersediaan sukuk juga akan berperan sebagai aset utama instrumen likuiditas. Di pasar sekunder, instrumen keuangan derivatif syariah berperan penting dalam mendukung penguatan stabilitas nilai tukar rupee dan mencapai inflasi dalam kisaran sasarannya.
Fenomena yang dipaparkan di awal artikel terjawab secara otomatis. Kelemahan SUVBI terkait dengan minimnya aset referensi. Kelangkaan sukuk sebagai aset dasar membuat BI tidak bisa berbuat banyak dalam menerbitkan instrumen keuangan dan kebijakan moneter seperti derivatif.
Oleh karena itu, mendorong penerbitan sukuk adalah titik awal yang paling penting. Modal dasar untuk itu sudah terbentuk. Integrasi teknologi digital seperti Internet of Things (IoT) ke dalam rantai pasok industri halal sangat positif untuk mempercepat keberlanjutan sistem keuangan syariah di Tanah Air.
Pemetaan penerbitan sukuk dari sudut pandang emiten semakin mempertegas arah strategi operasional. Diakui, hingga saat ini belum ada sukuk korporasi yang bisa memenuhi kriteria BI. Bahkan perusahaan publik pun dimiliki oleh pemerintah. Artinya, BUMN harus didorong untuk menciptakan produk sukuk baru.
Stimulasi ketersediaan sukuk erat kaitannya dengan inovasi produk. Instrumen asuransi syariah dan wakaf mempunyai potensi besar untuk dikembangkan selain penerbitan sukuk. Takaful dan wakaf merupakan alat keuangan terbaik untuk menciptakan nilai kemajuan keuangan berdasarkan prinsip Islam.
Sekalipun beberapa aspek yang disebutkan di atas terpenuhi, masalah rendahnya sukuk tidak berakhir di situ. Pertumbuhan penerbitan sukuk masih terbuka untuk didorong oleh perluasan aset agunan. Aset lain yang berhubungan langsung dengan syariah Islam sebenarnya bisa dijadikan acuan penerbitan sukuk.
Kisah yang sama dapat diterapkan pada bidang lingkungan hidup. Proyek ramah lingkungan harus dibiayai melalui sukuk. Fenomena perubahan iklim meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dalam konsumsi.
Prinsip-prinsip ESG (lingkungan, sosial dan tata kelola) juga semakin banyak dimasukkan ke dalam praktik bisnis. Korporasi tidak hanya berkomitmen untuk mencari keuntungan, tetapi juga berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan untuk generasi mendatang. Meningkatnya kesadaran konsumen dan produsen membuat penerbitan sukuk cukup layak secara finansial.
Pada akhirnya, sukuk memainkan tiga peran sekaligus. Hubungan vertikal dan horizontal antara manusia dengan manusia dan lingkungan hidup akan selalu terpelihara. Semua ini selalu didedikasikan untuk kebaikan bersama. Bukankah Islam diturunkan ke bumi sebagai rahmat?
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel