Bisnis.com, JAKARTA – Perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting di banyak negara. Kedua istilah ini sering diulangi pada Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Banyak pemerintah (termasuk Indonesia) yang sepakat bahwa diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasi perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Dalam beberapa COPs, sejumlah keputusan penting menjadi pendorong reformasi kebijakan pemerintah dan swasta terkait isu perubahan iklim. Dimulai dari COP 1 (Jerman, 1995), Dewan Berlin mendorong penetapan target pengurangan emisi yang sah dan diikuti oleh COP 3 (Jepang, 1997), Protokol Kyoto mengadopsi tiga strategi perdagangan emisi berbasis pasar.

Selain itu, pada COP 21 (Prancis, 2015), Perjanjian Paris menyatakan komitmennya untuk menjaga suhu global di bawah 1,5 °C serta menyampaikan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC). Pada tanggal 28 Oktober (Uni Emirat Arab, 2023) menyetujui penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk mencapai net zero emisi (NZE) pada tahun 2050.

COP, yang telah berlangsung selama tiga dekade, telah mencapai kemajuan yang signifikan, meskipun terdapat tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.

Diantaranya, 70% perekonomian dunia berkomitmen untuk mencapai NZE. Bagaimanapun, banyak bank, lembaga keuangan, perusahaan asuransi, dan investor telah mengubah model mereka dalam menghadapi perubahan iklim dan menyesuaikan bisnis mereka untuk menghadapinya. Faktanya, negara-negara maju telah mengumpulkan hingga 78,9 miliar USD untuk pendanaan iklim (OECD, 2020). Selain itu, lebih dari 160 perusahaan dengan total aset senilai $70 triliun telah berkomitmen untuk mencapai tujuan NZE (PBB, 2021).

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah menyusun dan memperbarui NDC dari tahun 2016 menjadi penyempurnaan NDC pada tahun 2022 untuk mencapai NZE, melalui target penurunan emisi dalam negeri tahun 2030 sebesar 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan).

Salah satu dukungan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui pembiayaan atau pembiayaan berkelanjutan.

SF erat kaitannya dengan perubahan iklim namun tidak terbatas pada aspek lingkungan saja. Sebab, SF mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola atau ESG ke dalam keputusan investasi dan keuangan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Dengan demikian cakupan SF meluas.

Dalam konteks industri keuangan syariah, fokus SF pada ESG konsisten dengan tujuan syariah (maqashid syariah) yang mendukung perbankan syariah. Misalnya pada aspek lingkungan hidup, prinsip pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab sesuai dengan prinsip pelestarian alam sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.

Berdasarkan prinsip tersebut, bank syariah dapat berperan aktif dalam pembiayaan proyek ramah lingkungan, mengembangkan produk dan layanan ramah lingkungan, serta melaksanakan kegiatan lingkungan di kantornya.

Kemudian pada aspek sosial, prinsip yang kami usung adalah mengedepankan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan oleh bank syariah melalui peran aktifnya sebagai lembaga penerima zakat, infaq, zakat dan wakaf serta menjalankannya melalui lembaga amal. Bank syariah juga mendorong program pemberdayaan masyarakat dan UMKM.

Kemudian dari sisi pengelolaan, prinsip SF mendukung transparansi, akuntabilitas, dan etika dalam kegiatan usaha. Bank syariah mempertahankan prinsip yang sama dalam seluruh operasinya. Padahal, pengawasan terhadap proses bisnis kami sudah sesuai dengan ketentuan syariah yang dibuat oleh Dewan Pengawas Syariah.

Melihat keselarasan ini, bank syariah harus memimpin dalam mengintegrasikan SF ke dalam proses bisnis dan operasionalnya. Sebab, melalui penerapan SF, perbankan dapat memperoleh banyak manfaat, seperti peningkatan peluang usaha dalam lingkungan yang ramah lingkungan, peningkatan profitabilitas dan daya saing melalui efisiensi, serta manajemen risiko di bidang ESG.

Selain itu, minat investor terhadap potensi insentif, reputasi dan citra ESG akan meningkat, dan harga saham bank akan meningkat dalam jangka panjang. Sebagai gambaran, pada tahun 2022, tercatat $30,3 triliun untuk investasi pada aset-aset ESG, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi $33,9 triliun pada tahun 2026 (PWC, 2022).

Selain itu, ada tren positif yang muncul pasca pandemi, yaitu kesadaran masyarakat akan beberapa poin penting. Pertama, adanya peningkatan kesadaran kesehatan dan kepedulian terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan. Kedua, kepedulian masyarakat terhadap kondisi kehidupan masyarakat kurang mampu semakin meningkat, dan sikap ini menjadikan Indonesia sebagai negara paling filantropis di dunia (World Philanthropy Index, 2023). Ketiga, meningkatkan kesadaran tentang moral dan etika dalam bekerja, berbisnis, dan berdagang. Terakhir, digitalisasi perusahaan di banyak sektor bisnis menjadi penting setelah epidemi ini.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kekuatannya, ada tiga hal yang perlu dilakukan bank syariah. Pertama, edukasi mengenai keuangan berkelanjutan dan prinsip-prinsip ESG kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk nasabah, investor, dan masyarakat umum bekerja sama dengan pemerintah, regulator, dan LSM nirlaba.

Kedua, pengembangan kerangka ESG akan digunakan sebagai panduan implementasi, pengukuran dan pemantauan ESG di bank syariah, termasuk sertifikasi dan pemeringkatan ESG.

Ketiga, meningkatkan bobot finansial sektor ESG, sekaligus menerapkan manajemen risiko yang cerdas.

Pada prinsipnya dan pada dasarnya, bank syariah harus menjadi pendorong utama untuk mencegah perubahan iklim melalui keuangan berkelanjutan. Namun jika bank syariah tidak berusaha menerimanya, maka bank syariah tidak hanya akan kehilangan pengaruh tetapi juga berisiko kehilangan pangsa pasar dan daya saing di masa depan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel