Bisnis.com, JAKARTA – Belakangan ini banyak kalangan dan ekonom yang menaruh perhatian besar pada Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dinilai merupakan kebijakan yang tidak layak dilakukan karena pola program ini tidak linier dengan harga riil properti.

Namun jika dilihat dari “helicopter view”, Tapera akan menjadi program yang tidak efisien dan menyasar pendapatan kelas menengah yang semakin tertekan akibat efek kuratif akibat pandemi Covid-19 dan kecenderungannya “meningkat”. ” karena meningkatnya inflasi dalam beberapa tahun terakhir.

Jika argumen pemerintah adalah negara lain mempunyai program serupa dan program ini akan sama manfaatnya dengan program BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, maka kurang tepat dan bijaksana jika program tersebut dilaksanakan karena pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih rendah. , yaitu 4.919,7 dollar AS (BPS, 2023) atau kelima di ASEAN.

Di Indonesia, proyek Tapera diyakini hanya akan mengikis pendapatan masyarakat sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan harus disetor ke BP Tapera.

Dalam Laporan Bank Dunia (2022) bertajuk Aspiring Indonesia – Memperluas Kelas Menengah, jumlah kelas menengah di Indonesia sebanyak 53,6 juta jiwa dan kelompok kelas menengah rentan kemiskinan sebanyak 114,7 juta jiwa atau 64,48% dari total penduduk Indonesia.

Memang kelas menengah yang dominan merupakan kelas produktif dan jika dikelola dengan baik dapat meningkatkan daya saing bangsa.

Berbagai keberhasilan kebijakan Tapera di berbagai negara ASEAN hendaknya tidak menjadi fokus utama pemerintah karena perlu memperhatikan data perekonomian yang dicapai di Indonesia.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (2020), disebutkan bahwa 90% pengeluaran penduduk Indonesia dihabiskan untuk kegiatan konsumsi G-1 hingga G-4 tahun berjalan dan tanpa intervensi pemerintah (jaring pengaman sosial). ) pendapatan mereka tidak mampu lagi menutupi biaya konsumsi produk pangan yang merupakan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Fakta tersebut sejalan dengan data Bank Indonesia (2023) yang menyebutkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya meningkat sebesar 3,8% yang merupakan pertumbuhan terendah sejak era reformasi.

Kelas menengah biasanya memiliki ketahanan yang tinggi karena merupakan kelompok yang kesulitan menerima program jaring pengaman sosial karena standar kemiskinan di Indonesia sebesar $1,90 per kapita per hari lebih rendah dibandingkan standar di banyak negara lain yang telah menerapkan PPP sebesar $3,2. per kapita per hari, yang dapat membuat sekitar 40% penduduk Indonesia menjadi miskin. PENILAIAN

Pendapatan kelas menengah ibarat buah strawberry yang kelihatannya berwarna merah muda namun justru empuk jika ditekan karena harus membayar pendapatannya untuk pajak, BPJS Salut, BPJS Pekerjaan dan sekarang juga Tapera dan mereka harus menyerap dampak ketidakpastian global seiring dengan tren bunga. tarif (“lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama”), kenaikan biaya makanan, transportasi dan pendidikan yang mendorong inflasi, dan bahkan kenaikan PPN menjadi 12% yang akan diterapkan mulai tahun depan.

Sudah saatnya pemerintah mengalokasikan belanja dengan model “low money tracking program”, bukan lagi “low money tracking function”, dimana pemerintah dapat fokus pada prioritas program yang memiliki outcome dan outcome yang baik.

Pada anggaran pendidikan sebesar 20% APBN berdasarkan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 misalnya, dinilai perlu dilakukan penilaian karena belanja yang dilakukan tidak tepat sasaran dan tidak memberikan dampak maksimal. karena sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.

Berbagai permasalahan di atas juga akan menjadi perhatian bagi lembaga keuangan perbankan dan non-bank karena harus menjalankan fungsi intermediasi untuk menjadi “buffer” atas tekanan yang mendera kelas menengah dimana net banking interest margin (NIM) mengalami penurunan. trennya menurut OJK RI (2024) sebesar 4,49% dan mendekati data NIM pada masa pandemi Covid-19 sebesar 4,19%.

Pemerintah perlu melakukan beberapa perubahan pada program Tapera karena belum dibutuhkan masyarakat dan dinilai menggerus pendapatan kelas menengah. Pemerintah sebaiknya fokus menjaga momentum pertumbuhan kelas menengah dengan kebijakan yang mendukung peningkatan pendapatan agregat penduduk.

Beberapa alternatif skema kebijakan yang bisa dilakukan Tapera antara lain pengendalian harga tanah khusus perumahan rakyat, pemberian fasilitas kredit perumahan jangka panjang agar bisa terbagi-bagi, bahkan gencar memberikan subsidi perumahan, yang besaran subsidinya disesuaikan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat.

Tujuan pemerintah seharusnya adalah memberikan “bantalan” kepada kelas menengah, yang bisa juga berarti “biaya dana” dari APBN dan menggabungkan pendanaan dengan program jaminan sosial.

Penggunaan dana BPJS untuk Fasilitas Likuiditas Keuangan Perumahan (FLPP) dinilai sangat strategis, namun dalam pelaksanaannya pemerintah harus memperhatikan output dan hasil dengan memfokuskan belanja dengan orientasi “program following” agar menghasilkan kebijakan yang baik khususnya untuk kelas menengah.

Sebab, kelas menengah tidak boleh hanya menjadi “media dan penonton” pertumbuhan ekonomi negaranya.

Temukan berita dan artikel lainnya di Google Berita dan WA Channel